Mohon tunggu...
Syaifuddin Sayuti
Syaifuddin Sayuti Mohon Tunggu... Dosen - blogger, Kelas Blogger, traveller, dosen.

email : udin.sayuti@gmail.com twitter : @syaifuddin1969 IG: @syaifuddin1969 dan @liburandihotel FB: https://www.facebook.com/?q=#/udinsayuti69 Personal blog : http://syaifuddin.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Berdamai dengan Monster

21 Maret 2018   21:59 Diperbarui: 21 Maret 2018   22:20 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Berdamai Dengan Kanker (foto koleksi pribadi)

Judul Buku  : Berdamai Dengan Kanker

Penulis         : Rahmi Fitria

Penerbit      : Elex Media Komputindo, Jakarta

Tahun          : 2018

Tebal Buku : 204 halaman

Kanker bukan sebuah kosakata yang asing bagi saya. Penyakit yang kerap diasosiasikan sebagai monster yang menakutkan ini kadang membuat para pengidapnya seolah kehilangan harapan hidup. Padahal banyak cara 'menikmati' penyakit ini. 

Meski tak ada orang dekat yang mengidap kanker namun sejumlah kawan sekolah dan pekerjaan beberapa ada yang mengidap kanker. Ada yang bertahan dan masih sehat hingga sekarang, tapi adapula yang sudah 'pergi' dengan meninggalkan sejuta kenangan pahit dan manis bagi keluarganya.

Saya ingat saat bekerja di sebuah stasiun TV, di kantor kami ada seorang kawan senior, perempuan. Kami biasa memanggilnya ibu, karena selalu memposisikan sebagai 'ibunya' anak-anak di kantor. Saya mengingatnya hingga kini karena energinya yang luar biasa, nyaris tak ada lelahnya. Bekerja di sekretariat redaksi, bu Lies namanya, bekerja all out sepanjang pekan. Bahkan kerap menginap di kantor.

Awalnya saya tak tahu siapa bu Lies ini. Yang saya tahu hanya seorang perempuan paruh baya yang energik. Ia selalu bekerja dengan hati yang tulus, membantu pekerjaan utama para jurnalis dengan menyiapkan banyak hal. Di waktu luangpun bu Lies kerap menjadi teman curhat kami.

Belakangan saya tahu ia adalah seorang penyintas kanker. Ia pernah mengidap kanker payudara hingga payudaranya diangkat. Namun semangat hidupnya luar biasa, dan ia tak mau dibelaskasihani hanya karena pernah mengidap penyakit yang dikategorikan sebagai penyakit mematikan itu. Mengenai penyakitnya, ia tak pernah berkeluh kesah, bahkan selalu menyukuri hidupnya saat ini yang merupakan bonus dari Allah SWT. 

Karenanya ia menolak 'istirahat' dari pekerjaan dan tetap bekerja hingga kini meski sudah dinyatakan pensiun. Kecintaannya terhadap profesi di media elektronika membuatnya bertahan dan bekerja diantara anak-anak muda yang selisih usianya cukup jauh.

Berbeda dengan bu Lies, ada seorang kawan kecil saya yang juga mengidap kanker. Saya tak pernah beroleh kabar sejak kami lulus dari SMA. Saya sempat menetap di Bandung dan baru 6 tahun kemudian kembali ke Jakarta. Sementara rekan saya ini tetap di Jakarta. 

Kabar tentang kankernya saya dapatkan saat kawan-kawan menginisiasi sebuah reuni.  Sayangnya ia memilih 'sembunyi' dari teman-teman lama hingga akhirnya sebuah kabar gembira saya dapatkan. Ia dinyatakan 'bersih' setelah bergulat dengan pengobatan herbal. Kini sang kawan mengisi hari-harinya dengan belajar fotografi. Belajar foto yang awalnya dijadikannya sebagai terapi, kini mulai dijadikan sebagai penambah penghasilan.

Kisah Para Pribadi Hebat

Kisah 2 kawan di atas kembali membuka memori saya manakala membaca buku Berdamai Dengan Kanker karya Rahmi Fitria. Ami, begitu penulis ini dipanggil bukan penulis buku biasa. Ia dan juga semua pribadi yang dituliskan adalah seorang penyintas kanker, yang pernah mengakrabi penyakit yang hingga kini belum ada obatnya itu.

Daripada menangis di pojokan meratapi kankernya, Ami memilih berdamai dengan panyakitnya. Ia selalu berpikir positif dan menjalani hidup dengan berkarya tanpa perlu berkeluh kesah. Pikiran positif yang tenang dan hati yang damai, menurut Ami menjadi kunci untuk bisa menenangkan sel-sel kanker. 

Menerima kanker bukan sebagai bencana bagi pengidapnya mungkin tak semua orang bisa melakukannya. Namun para penyintas kanker yang kisahnya dibagikan di buku ini bisa melewati hari-hari yang sulit dan beberapa sudah dinyatakan 'bersih' dari pengaruh kanker. 

Kisah penyanyi legendaris Titiek Puspa yang juga ada di buku ini misalnya, bisa menjadi contoh betapa kanker tak perlu ditakuti. Eyang Titiek Puspa menyikapi diagnosa kanker serviks yang menderanya dengan sangat ringan. Ia memilih pasrah karena sudah menduga bakal terkena penyakit ini juga, sebab ia secara genetik punya kemungkinan terkena kanker lantaran ayah dan ketiga kakaknya meninggal karena kanker. 

Titiek Puspa memilih tak meratapi diri apalagi menyalahkan Tuhan Sang Pencipta. Ia memilih nrimo menerima penyakit yang diidapnya sebagai sebuah garis Tuhan. Meski dalam buku ini tidak dikisahkan secara detil perjuangan seorang Titiek Puspa melawan kankernya, namun penuturan kisah eyang Titiek di salah satu bagian buku bisa membangkitkan harapan dan memberi inspirasi bagi para pengidap kanker.

Setelah divonis mengidap kanker, hal terpenting kemudian adalah bagaimana mencari jalan kesembuhan. Dan jalan kesembuhan bagi tiap orang pun berbeda-beda. Ada yang memilih menyandarkan diri pada kekuatan medis, ada pula yang mencoba terapi herbal. Ada yang menjadikan kanker sebagai titik balik memperbaiki hubungan dengan orang terdekatnya, ada pula yang kemudian memilih menekuni hobby baru sebagai terapi.  

Kisah artis tiga jaman ini hanya sekelumit kecil kisah inspiratif dari para penyintas kanker di buku ini. Menurut saya, Ami adalah pencerita yang menyenangkan hingga tak terasa kisah para penyintas kanker ini bisa saya baca dalam waktu satu hari saja.

Satu hal yang saya dapatkan dari buku ini adalah penyakit kanker bisa menjadi momok yang mengerikan bagi pengidapnya jika menyikapi penyakitnya dengan cara yang salah. Sikap berdamai dengan kanker akan menimbulkan efek yang positif bagi diri pengidapnya. Karena hanya dengan berdamai para pengidap kanker bisa menjalani hidup dengan lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun