Indonesia punya banyak kearifan lokal yang diyakini tumbuh berkembang serta turun temurun di berbagai daerah. Salah satu kearifan lokal yang bertahan hingga kini adalah kerokan. Buat generasi "Now" mungkin istilah kerokan agak asing. Dan wajar jika sebagian generasi "Now" tidak familiar dengan istilah ini.Â
Tapi apa benar kalian generasi "Now" tidak tahu dengan kerokan? Saya kok tidak yakin. Sebab, meski generasi milenial tidak pernah 'dikerok' saya kok cukup yakin mereka pernah melihat kerabat atau mereka yang berasal dari generasi pra Milenial alias generasi dulu (untuk tak menyebut generasi tua) tubuhnya dikerok atau dikerik. Coba ingat-ingat, pasti pernah melihat seseorang dengan tubuh bagian punggung yang penuh pola berwarna merah-merah mengikuti alur tulang belakang. Garis-garis merah itu bukan tatto temporer lho.Â
Ya, itu adalah kerokan, sebuah cara tradisional yang entah sejak kapan dilakukan oleh orang Indonesia untuk mengatasi problema masuk angin. Dalam berbagai literatur hanya dikatakan sudah dilakukan secara turun temurun oleh nenek moyang kita. Siapakah nenek moyang kita dan kapan waktu hidupnya biarlah jadi misteri tersendiri. Yang jelas di keluarga saya ini sudah dilakukan sejak lama.
Biasanya kerokan ini dilakukan pada tubuh bagian belakang. Namun tidak menutup kemungkinan, kerokan juga bisa dilakukan pada tubuh bagian depan, leher dan sekitarnya. Kerokan ini dilakukan dengan cara menekan bagian tubuh dengan benda tumpul menggunakan bantuan minyak atau balsem sebagai pelicin. Biasanya gerakan yang dilakukan dalam kerokan mengikuti alur tertentu. Ini bertujuan untuk mengeluarkan angin dari dalam tubuh. Dan biasanya setelah 'dikerok' tubuh akan menjadi lebih segar dan hangat.
Memori Kerokan si-Mbah
Bicara kerokan saya tak bisa melupakan jasa mbah putri saya yang sudah lama berpulang. Â Karena pernah tinggal cukup lama dengan si-mbah semasa kecil, beliau banyak mewarisi kearifan lokal dalam banyak hal. Caranya mewarisi kearifan lokal tidak seperti cara orang modern yang penuh instruksional atau kadang pemaksaan. Â Si mbah mengajarkan dengan mentransfer pengetahuan secara praktikal.Â
Saya  malah diminta tengkurap di pangkuannya. Dengan perlahan si mbah membaluri tubuh saya dengan minyak kelapa dan mulai mengerik (mengerok) di bagian punggung menggunakan bawang merah. Penggunaan bawang merah menurut si mbah, karena kulit anak-anak masih sensitif. Alasan lainnya bawang merah dipilih karena memiliki khasiat menebarjan kehangatan di tubuh. Dan ajaibnya, setelah dikerik tubuh jadi lebih enak, mual hilang dan tidur pun nyenyak.
Setelah agak besar, si mbah kemudian mengubah cara mengerok pada cucu-cucunya. Tak lagi menggunakan bawang merah, namun berubah memakai sekeping uang logam. Ada beberapa uang logam yang biasa digunakan. Tapi saya lebih suka menggunakan uang logam seratus rupiah yang lebih pipih dan halus teksturnya.Â
Saya ingat waktu itu sempat mengaduh kesakitan saat dikerok oleh si mbah, namun saya tak berani membantah. Saya percaya apa yang dilakukan si-mbah bukan untuk menyakiti cucunya. Itu dilakukan justru sebagai bentuk rasa cinta pada cucunya agar kembali bugar.
Setelah dewasa saya baru ngeh dengan semua yang diajarkan si-mbah. Bahwa dari kegiatan sederhana seperti kerokan ternyata banyak yang bisa saya dapatkan dan pahami. Pelajaran mengenai warisan kearifan lokal yang luar biasa.