Apakah anda bahagia hari ini?
Jika pertanyaan ini diajukan ke saya, dengan mantap saya akan katakan "Saya bahagia." Tapi coba ajukan pertanyaan yang sama pada banyak orang, akan ada banyak jawaban yang bisa jadi tidak akan sama. Ada yang merasa hidupnya tidak bahagia, ada yang merasa bahagia namun dengan sederet alasan.
Namanya manusia memang memiliki sejuta pandangan tentang apapun. Dan sah-sah saja jika ia merasa tak bahagia dalam hidupnya mengingat (mungkin) banyak problema hidup yang sedang atau telah dialaminya.
Sayapun punya alasan mengapa saya mengatakan bahagia dengan hidup yang saya jalani selama ini. Apakah saya kaya? Ya. Apakah saya berkelebihan harta? Itu soal sudut pandang.
Saya merasa kaya dengan segala pencapaian saya, meski kalau harus dibandingkan materi yang saya miliki tak ada bandingannya dengan harta milik Donald Trump atau raja-raja minyak dari negeri teluk. Saya bahagia karena sudah berada di titik ini, merasakan nikmat hidup yang luar biasa dan masih dipercaya Allah untuk  menjadi hambanya.
Buat saya bahagia sesimpel itu.Materi bukanlah ukuran kebahagiaan. Karena ternyata banyak orang berduit namun hidupnya tak bahagia. Siapa yang bisa mengingkari kalau seorang Robbin Williams, aktor Hollywood papan atas yang filmnya kerap jadi Box Office di dunia sebagai salah satu aktor yang kaya raya. Tapi apa yang terjadi dengan hidupnya? Ia ditemukan tewas bunuh diri.
Meski kita tak pernah tahu alasan sebenarnya Robbin Williams mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis seperti itu, namun fakta itu tak bisa dibantah bahwa seorang aktor besar seperti dia ternyata tidak bahagia hidupnya. Padahal kemasyuran dan harta berlimpah mengitari hidupnya.
Coba kita flashback dengan peristiwa saat seorang pemulung bernama Mak Yati di Jakarta sekian tahun lewat yang ikut memberikan dua ekor kambing sekaligus untuk ibadah kurban. Kalau ditilik kemampuan finansialnya sangat jauh dari cukup. Namun karena tekad kuatnya ingin bekrurban dan memberikan kebahagiaan bagi orang lain, apa yang tak mungkin itu jadi terwujud. Apakah ia bahagia dengan hidupnya?Â
Saya yakin ia bahagia. Bahkan ia sudah melampaui bahagia yang pernah dirasakan banyak orang. Buktinya ia rela mengurangi kenikmatan dunianya dan menyisihkan sedikit demi sedikit uang yang didapatnya dari memulung demi mengtransfer kebahagiaan pada orang lain. Berbagi bagi mak Yati adalah sebuah kebahagiaan meski ia harus tetap hidup dengan sederhana.
Cara kita memandang arti kebahagiaan adalah poin paling penting yang saya temukan dalam buku "The Happinest Mindset" karya Muchlis Anwar. Buku ini memang tidak memaparkan gagasan besar dari penulisnya, namun justru sebaliknya. Ulis, begitu biasa sang penulis disapa, memaparkan hal sederhana yang ternyata banyak dilupakan oleh orang-orang modern.
Banyak orang yang merasa tak bahagia bila tak punya harta. Banyak yang merasa tak bahagia jika tak punya pasangan. Banyak yang merasa tak bahagia bila tak bisa menggapai prestasi tertentu.
Ulis yang juga seorang motivator dan public speaking trainer, dengan cerdiknya mengembalikan semua pertanyaan soal kebahagiaan itu pada diri orang itu sendiri. Mengapa harus membuat ukuran-ukuran kebahagiaan jika kita sebenarnya punya semua yang kita inginkan dan butuhkan? Bukankah kita sudah cukup bahagia dengan nikmat kehidupan yang kita rasakan. Saat bangun dari tidur dan kita masih hidup, bukankah itu adalah kebahagiaan yang paling hakiki?
Coba bayangkan jika anda mencoba bangun dari tidur dan tidak bisa karena nyawa anda sudah dicabut oleh yang Maha Kuasa? Apakah anda akan protes?
Nikmat terbesar dari hidup itu adalah HIDUP itu sendiri. Dalam buku ini Ulis mencoba menyadarkan kita bahwa teramat banyak hal yang tak kita sadari yang harusnya kita syukuri. Dan itu merupakan problem yang manusia banget.Â
Jika kita selalu bersyukur atas semua pencapaian, kita tak akan mungkin punya waktu untuk mengeluh, tak akan punya waktu untuk meratapi kegagalan.
Benar kata mas Ulis, bahagia itu hanya soal cara pandang. Naik mobil Jaguar atau ojek punya nilai kebahagiaan yang sama, tergantung bagaimana anda memaknainya. Ojek akan bisa menjadi kendaraan yang paling nyaman ketika anda menaikinya dengan suka cita, meski harus meliuk-liuk di kemacetan ibukota. Namun menaiki kemewahan Jaguar bisa jadi akan berasa di neraka jika anda terjebak kemacetan berjam-jam yang membuat meeting anda batal. Dan jaguar akan jadi kendaraan menyebalkan jika anda mengeluhkannya.
Semua tergantung cara pandang.
Sudah bahagiakah anda hari ini?
Judul Buku  : The Happinest Mindset
Pengarang  : Muchlis Anwar
Penerbit    : Bestari, Jakarta
Tebal Buku : 95 halaman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H