Kompasiana adalah kang Pepih Nugraha, begitu yang dulu sangat melekat dalam benak banyak orang. Bicara Kompasiana tak bisa menafikan peran seorang Pepih Nugraha karena dia adalah foundernya. Bukan hanya pendiri yang kerap hanya dikenal sesaat lalu pergi 'membuat mainan' baru, kang Pepih berproses, berdarah-darah bersama timnya membesarkan dan membuat Kompasiana menjadi media warga yang disegani. Baik oleh sesama penulis, media online lain maupun oleh politisi dan petinggi negeri ini.
Tak sedikit konten Kompasiana yang memicu perdebatan panjang, pro-kontra bahkan menjadi isu nasional. Kasus Gayus Tambunan yang bebas bepergian di luar sel dan diposting di Kompaisana misalnya membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Bahkan tak sedikit pula potingan di Kompasiana yang dijadikan ide oleh media mainstream, media televisi salah satunya. Saat 'jaya-jayanya' Kompasiana jadi media online yang harus diintip oleh awak redaksi karena sering bermain di tataran yang tak biasa. Postingannya kerap membuat kalang kabut newsroom karena banyak media mainstream tak mendapatkan bahan yang serupa.
Kang Pepih memang tak langsung berperan membuat perencanaan isu-isu menghebohkan tadi, tapi ide brilyannya dalam Kompasiana menjadikan hal-hal yang semula sakral dan hanya dimiliki oleh para pekerja media kini (juga) bisa dilakukan orang biasa. Warga juga bisa membuat reportase atau laporan mengenai apapun dengan tingkat keterbacaan yang tinggi. Bahkan di beberapa isu postingan di Kompasiana dibaca jutaan orang karena banyak orang yang rela nge-share artikel Kompasiana.
Saat mendengar kabar Kang Pepih Nugraha berniat hengkang dari Kompasiana terus terang saya kaget. Sinyal pengunduran dirinya sebenarnya sudah saya dengar dari yang bersangkutan sekitar setahun silam. Ia mengatakan tak mungkin berlama-lama di Kompasiana karena masa kerjanya sebagai pegawai beberapa tahun lagi bakal habis.
Namun niatan mundur yang bulat baru saya dengar sendiri saat berlangsungnya perhelatan Kompasianival bulan Oktober 2016. Di situ kang Pepih banyak bercerita mengenai rencana hidupnya ke depan, termasuk meninggalkan Kompasiana. Ia mengaku bangga apa yang digagasnya tahun 2008 kini menjelma menjadi sebuah media online yang dihormati dan disegani di tanah air. Karenanya ia memilih mundur di saat posisi Kompasiana sedang seperti sekarang. Ia tak merasa berdosa karena setelah 'berdarah-darah' kini Kompasiana sedang berada di era yang menghasilkan secara ekonomi.
Bicara Kompasiana saya jadi ingat saat Kompasiana hadir di tahun 2008. Saat itu saya yang penikmat berita-berita online dari Kompas.com (awalnya bernama Kompas Cyber Media) secara tak sengaja 'menemukan' Kompasiana di laman Kompas.com. Agak berbeda dari Kompasiana yang kita baca hari ini, Kompasiana era 2008 masih merupakan situs blog khusus yang diperuntukkan bagi wartawan Kompas. Idenya adalah menampung kisah dibalik liputan yang tidak (bisa) dimuat di Kompas cetak. Karena keterbatasan halaman seringkali sebuah liputan hanya berisi hal-hal penting saja, sementara kisah dibalik itu atau hal-hal yang sifatnya humanis yang harusnya juga diketahui orang hanya jadi simpanan sang wartawan.
Sebagai sesama jurnalis (meski berbeda platform) jelas saya iri dengan Kang Pepih yang bisa memberi ruang kawan-kawan di Kompas menuiliskan hal-hal di luar berita. Ternyata saya bukan satu-satunya orang 'luar' Kompas yang iri melihat postingan di Kompasiana kala itu. Ada beberapa kawan juga berstatus yang sama. Hanya bisa baca postingan di Kompasiana tanpa kita pernah bisa berkontribusi.
Iseng-iseng saya tanyakan langsung ke Kang Pepih, kenapa publik tak bisa ikutan menulis. Akhirnya keran ekslusifitas bagi wartawan Kompas pun dibuka. Orang luar juga dipersilakan menulis di Kompasiana, tapi dengan moderasi langsung kang Pepih. Agak deg-degan juga menulis di Kompasiana tapi harus dibaca dulu oleh seorang wartawan senior macam kang Pepih. Tulisan sayapun lolos tayang di Kompasiana. Waktu itu saya menulis soal Media dan Pemberitaan kasus teroris Amrozy. Tulisan ini sengaja saya posting di dua platform berbeda. Satu di Kompasiana dan satunya di blog keroyokan Multiply.com. Tapi yang mengagetkan adalah reaksi pembaca di kedua media yang berbeda. Di Kompasiana terjadi diskusi menarik mengenai hal tersebut. Sementara di Multiply saya sempat diancam dibunuh oleh pendukung Amrozy.
Momen itu membuat saya sadar label 'Kompas' membuat 'crowd' di Kompasiana berbeda dari Multiply. Saya merasakan ada dialog positif dengan memposting tulisan di Komapsiana. Setelah itu makin banyak penulis di Kompasiana, dan kabar baiknya tak ada lagi moderasi dalam postingan. Keputusan menghapus moderasi admin ini menjadi titik tolak 'ramainya' Kompasiana, nyaris seperti pasar.
Jika di awal kehadirannya, postingan kita bisa bertengger lama di halaman depan, kini dengan makin membengkaknya jumlah postingan 'usia' postingan kita di halaman depan hanya berusia beberapa jam saja. Tapi tak apa, karena ini membuktikan bahwa media warga seperti Kompasiana memberi ruang sangat luas bagi siapapun berbagi apapun.
Ke depan apakah dengan ketidak hadiran kang Pepih di aktivitas keseharian Kompasiana bakal mandeg? Jawabannya bisa beragam. Menurut saya tim admin yang sekarang harus bisa merapatkan barisan lebih kuat lagi menghadirkan inovasi-inovasi untuk 'mengikat' para penulis di Kompasiana. Mungkin dengan membuat banyak kegiatan ofline yang tidak hanya berpusat di Jakarta bakal membuat ikatan terhadap Kompasiana makin erat.
Kang Pepih boleh saja tak hadir di Kompasiana lagi sebagai admin, tapi kemarin melalui akun media sosial sejumlah admin Kang Pepih menyatakan meski tak lagi jadi COO Kompasiana ia akan tetap menjadi Kompasianer. Karena tak ada yang bisa menghapus jejaknya sebagai founder. Sukses terus kang dengan sejumlah rencana platformnya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H