Mohon tunggu...
Syaifuddin Sayuti
Syaifuddin Sayuti Mohon Tunggu... Dosen - blogger, Kelas Blogger, traveller, dosen.

email : udin.sayuti@gmail.com twitter : @syaifuddin1969 IG: @syaifuddin1969 dan @liburandihotel FB: https://www.facebook.com/?q=#/udinsayuti69 Personal blog : http://syaifuddin.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Huda dan Mimpi Batik Pekalongan

8 November 2015   16:43 Diperbarui: 9 November 2015   10:30 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Fatkhul Huda dan Batik Pekalongan (foto dokpri)"][/caption]Bertemu dengan Fatkhul Huda, di sebuah kafe di Jakarta akhir pekan kemarin, seperti melihat sebuah nyala api semangat. Anak muda kelahiran Pekalongan Jawa Tengah ini bicaranya runut, bersemangat saat bercerita mengenai batik di tanah kelahirannya. Batik bagi Huda dan keluarga adalah nafas hidupnya. Sejak kecil ia dan keluarganya hidup dari batik, bertumbuh dan kemudian menerima tongkat estafet di bidang yang ia cintai tersebut.

Ada nada kebanggaan dari ceritanya yang mengalir. Ia bangga karena batik makin diakui, makin banyak yang mencintai. Terutama setelah penetapan Hari Batik Nasional di awal bulan Oktober tiap tahunnya. Dulu batik hanya dikenakan oleh kalangan tertentu saja, di saat-saat tertentu pula. Kini batik sudah makin memasyarakat. Digunakan hampir semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

Di balik kebanggaannya terhadap Batik, terselip kegundahan di hati Huda. Bukan tentang nasib bisnis batik keluarganya. Tapi pada nasib industri rumahan batik tulis dan nasib perajinnya. Meski pamor batik tengah naik, namun industri rumahan batik tulis menghadapi tantangan yang cukup pelik. Mulai dari kain mori (kain polos bahan batik) yang harganya fluktuatif.

[caption caption="Gaya Huda saat Jelaskan Soal Batik Pekalongan (foto dokpri)"]

[/caption]

"Kain mori yang bagus harganya kerap naik tiba-tiba, kapas sebagai bahan baku kainnya kan impor. ini yang membuat harga kain mori naik turun. Ini kan menyulitkan para perajin batik tulis yang umumnya bukan pengusaha besar," ujar Huda yang sudah memiliki seorang putri ini.

Selain itu, tantangan lainnya datang dari pewarna yang digunakan. Umumnya pewarna yang bagus kualitasnya masih harus didatangkan dari luar negeri, seperti dari India. Menurut Huda, hingga kini pewarna batik yang baik memang belum bisa dihasilkan dari dalam negeri. Ini juga jadi problem yang belum ada solusi praktisnya.

Nasib Para Penjaga Tradisi

Hal lain yang juga menjadi persoalan yang menjadi perhatian Huda adalah nasib para perajinnya. Para perajin batik tulis sebenarnya merupakan tulang punggung di dalam bisnis batik. Namun sejauh ini ia dan banyak kalangan melihat nasib para perajin begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Tak banyak berubah.

Padahal, para perajin adalah penjaga tradisi yang membuat batik tetap eksis hingga kini. Kenyataan ini setidaknya menjawab pertanyaan mengapa tak banyak generasi muda yang mau menekuni profesi sebagai perajin batik tulis.

[caption caption="Tebak Berapa Harga Selembar Kain Batik ini? (foto dokpri)"]

[/caption]

Keberlangsungan tradisi memang menjadi isu yang tak pernah selesai. Di banyak daerah, persoalan ini juga menjadi perhatian dan keprihatinan banyak pihak. Tanpa ada political will dari pemerintah, kerajinan batik tulis bukan tidak mungkin hanya akan menjadi bagian dari sejarah negeri ini, dan kita hanya akan jadi penonton di rumah sendiri.

Berbekal keprihatinan mendalam akan nasib batik tulis Pekalongan, ia bersama kalangan muda praktisi batik Pekalongan sedang mengupayakan terus mengangkat dan memberdayakan potensi perajin lokal. Karena ia melihat para perajin batik tulis di Pekalongan banyak yang memiliki kecakapan yang mumpuni, namun karena apresiasi yang rendah, keberadaan mereka belum terangkat optimal.

Ia mencontohkan masuknya produk batik print (cetakan) baik dari dalam maupun dari luar negeri seperti China berpengaruh pada keberadaan batik itu sendiri. Kerajinan batik tulis mau tak mau berhadap-hadapan dengan batik print yang dijual untuk kepentingan massal dan harganya jauh lebih murah dari batik tulis.

[caption caption="Nama Perajin Disematkan di Kain Batik (foto dokpri)"]

[/caption]

Huda kemudian memberi contoh sebuah karya batik tulis Pekalongan. Selembar kain batik ia bentangkan. Kain batik berwarna dominan ungu itu menurut Huda adalah contoh sebuah kerajinan batik yang ditulis. Karenanya kain batik ini dibanderol seharga 17 juta limaratus ribu rupiah. 

Huda kemudian menjelaskan bagaimana kain itu bisa dihargai setinggi itu.

"Kain ini dibuat selama 2 tahun. Bayangkan selama dua tahun si perajin bukan sekedar menulis atau menggambar dengan lilin malam saja. Namun di balik itu ada pergulatan, kisah, ketekunan, dan kecintaan terhadap tradisi," jelas Huda.

Huda menjaskan dalam setiap kain batik tulis yang sudah jadi proses penggarapannya membutuhkan pengorbanan waktu yang tak sedikit. Untuk mewarnainya misalnya, tidak langsung jadi seperti yang kita lihat dari selembar kain yang sudah jadi. Pewarnaan kadang dilakukan berkali-kali hingga memperoleh warna yang pas dan berkarakter.

[caption caption="Senyum Optimisme Huda Pada Batik Pekalongan (foto dokpri)"]

[/caption]

Pelukisan motifnya juga tidak bisa dilakukan sekaligus. Kadang harus ditelusuri lagi kain batik yang sudah ditulisi. Ditambahi ornamen-ornamen tertentu untuk memperkuat motif adalah hal biasa. Karenanya, harga tinggi dari selembar kain batik tulis Pekalongan menjadi masuk akal jika melihat proses pengerjaannya yang bisa memakan waktu hingga 2 tahun tadi.

Upaya mengangkat nasib para perajin Batik Tulis lebih terhormat sudah mulai dilakukan Huda dan kawan-kawannya. Diantaranya dengan menyematkan nama perajin di selembar kain buatannya. Seperti nama "Jumilah" di kain yang ia bawa. Jumilah adalah perajin Batik Tulis yang bertalenta dan sudah menghasilkan karya-karya terbaik. Makanya, sudah sepantasnya nama Jumilah diabadikan pada kain hasil karyanya.

Menurut Huda, ini adalah salah satu upaya memberi nilai tambah karya batik tulis Pekalongan. Kalau para desainer pakaian bisa melakukan hal tersebut mengapa untuk perajin batik tulis tidak bisa ?

Ke depan, ia berharap para perajin batik tulis di Pekalongan dirangkul, diberikan insentif dalam hal pasokan bahan baku dan pemasaran produk-produknya. Jika produk batik print sudah dipasarkan melalui jaringan e-commerce untuk menggenjot nilai penjualannya. Sedangkan bagi batik tulis hal itu kurang pas, sebab para peminat batik tulis biasanya harus melihat wujud asli batiknya sebelum memutuskan membelinya. 

Persentuhan dengan kain, melihat kerumitan pengerjaan motifnya adalah seni tersendiri. Dan pengalaman batin seperti itu tidak bisa didapatkan jika dilakukan secara daring. Oleh karena itu, Huda mengundang para peminat batik tulis untuk datang langsung ke tempat usaha keluarganya yang bernama Batik Famoli di kota Pekalongan. Tidak hanya untuk membeli produk batik tulisnya, namun juga melihat dari dekat bagaimana sebuah kain itu ditulisi dengan motif-motif cantik sehingga menghasilkan karya seni bernilai tinggi.

Sebuah mimpi-mimpi sederhana dari seorang anak muda biasa. Siapa yang akan mendukungnya kalau bukan kita, ya kita orang Indonesia.

 

Batik Famoli

Jl.Raya Wiradesa - Bojong

Ds.Petukangan Rt.03/ Rw.01

Pekalongan, Jawa Tengah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun