Mohon tunggu...
Syaifuddin Sayuti
Syaifuddin Sayuti Mohon Tunggu... Dosen - blogger, Kelas Blogger, traveller, dosen.

email : udin.sayuti@gmail.com twitter : @syaifuddin1969 IG: @syaifuddin1969 dan @liburandihotel FB: https://www.facebook.com/?q=#/udinsayuti69 Personal blog : http://syaifuddin.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Masihkah Ada Masa Depan Bagi Anak Kita?

12 Mei 2015   20:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:07 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Belakangan ini hati saya gundah. Bukan karena harga sembako yang makin tak akrab dengan kantong. Bukan pula karena harga BBM yang tak pernah stabil sekian bulan terakhir. Soal harga, tarif atau apapun itu masih bisa dikompromikan. Sedikit kencangkan ikat pinggang, mengurangi kenikmatan duniawi, menyesuaikan kondisi atau apapun yang penting masih bisa hidup.

Tapi yang membuat hati gundah bukan soal itu. Bahkan lebih dari itu. Karena ini menyangkut sebuah masa depan bagi anak saya, dan mungkin anak anda juga.

Kegundahan saya berawal dari banyaknya berita negatif memborbardir ruang dengar, ruang baca dan ruang lihat kita semua. Mulai dari pesta bikini selepas ujian SMA, prostitusi Abege, pelacuran di kos-kosan atau apartemen, prostitusi online, prostitusi di kalangan artis hingga rencana sertifikasi bagi WTS yang digagas seorang kepala daerah.

Hanya ada satu kata: duh!

Bingung rasanya menjawab pertanyaan anak-anak mengenai apa itu prostitusi, mengapa harus ada pesta bikini, dan mengapa WTS mesti disertifikasi?

Apa benar di negeri ini hanya ada hal-hal berbau lher dan serr (meminjam istilah untuk hal berbau birahi versi tokoh pers Arswendo Atmowiloto) saja?

Di mana tempat kami sebagai orang tua dalam membesarkan anak-anak kami? Apakah anak-anak kami yang kecil-kecil harus juga tahu dan memahami dunia orang dewasa yang begitu rumit dengan perbendaharaan istilah yang makin hari makin ajaib itu?

Apakah kami tidak boleh melihat dan membaca media massa kita sendiri? Padahal seyogyanya media massa itu memberikan pencerahan bagi pembacanya? Lalu bagaimana anak-anak kita mau membaca atau mengkonsumsi media sendiri jika tiap hari dari pagi sampai malam suguhan media kita tak jauh-jauh dari persoalan syahwat. Entah itu syahwat abege di mal, pelacuran di tempat kos, esek-esek di apartemen hingga mucikari artis papan atas.

Sebagai orang dewasa kita mungkin sudah pada paham dan mengerti, ada dunia 'semacam itu' di luar 'sana'. Tapi apakah bijak menyajikan semua hal busuk itu bagi konsumsi anak-anak kita?

Saya juga tak bisa menyalahkan media yang memblow up persoalan syahwat ini menjadi isu nasional, karena begitulah sifat media, akan memberitakan sesuatu yang tak biasa. Apalagi persoalan syahwat (sex) memenuhi salah unsur 'new value' sebuah berita.

Para punggawa program infotainment maupun redaksi berita tv beranggapan ini kasus 'sexy' untuk jadi santapan rating tv. Kapan lagi dapat rating bagus dengan mendompleng 'isu nasional' semacam ini, meski ini isu murahan.

Di tengah isu prostitusi atau pelacuran yang marak akhir-akhir ini menyeruak usulan 'gendeng' dari seorang gubernur yang akan menerapkan sertifikasi layanan pekerja seks komersial. Edan. PSK akan disamakan dengan dosen, guru, wartawan atau profesi lain yang kini tengah giat mengejar sertifikasi menjelang penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN akhir tahun  ini. Saya tak terlalu yakin ini diperlukan dan ada standarnya di negara lain.

Sekali lagi ini adalah kegelisahan saya, mungkin sangat subyektif sifatnya.

Adakah kompasianer yang juga merasakan kegundahan yang sama dengan saya?

Masihkah ada harapan bagi masa depan anak kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun