Gunung Merapi sama seperti Gunung Semeru, mendaki gunung Merapi tak pernah masuk kedalam daftar mimpi petualangan saya. Merapi yang terkenal sebagai gunung paling aktif di pulau Jawa terus terang tak pernah menarik minat saya untuk datang berkunjung. Meski banyak kawan yang bilang mendaki Merapi itu menyenangkan karena punya segudang tantangan, dan di media social pun banyak beredar foto-foto keren yang diunggah para pendaki gunung ini, saya tetap tak tertarik untuk mendaki kesana.
Namun beberapa waktu lalu, akibat ajakan mendaki 2 gunung berinisial M yang ada di Jawa Tengah, saya pun akhirnya datang juga dan mencicipi pendakian di Gunung-nya almarhum Mbah Maridjan ini.Berdasarkan info dari kawan-kawan yang pernah mendaki ke Merapi, bagian terseru sekaligus tersulit dari pendakian Gunung Merapi adalah trek dari Pasar Bubrah menuju puncak yang didominasi medan pasir berbatu dengan kemiringan tanjakan yang aduhai.
Namun nyatanya, setelah merasakan sendiri, trek pendakian Merapi sudah cukup menyiksa sejak dari Gerbang Masuk Taman Nasional.
Disiksa tanjakan seperti itu, otomatis tubuh saya yang memang tak punya stamina prima benar-benar dibuat kepayahan. Kondisi alamnya yang didominasi hutan belantara yang cukup rapat tak memberikan view pemandangan indah untuk dinikmati sebagai pengobat rasa lelah saat sekedar beristirahat untuk memulihkan tenaga.
Sampai di Pos 1, kami tak punya banyak waktu untuk istirahat berlama-lama, karena waktu tak terasa sudah merangkak menuju sore. Dengan badan yang masih kelelahan usai dihajar tanjakan tadi, kami pun lanjut berjalan menuju pos 2 di atas sana, dimana kami berencana mendirikan tenda untuk bermalam.
Seperti yang saya prediksi sebelumnya, bukannya memberi bonus, trek menuju pos 2 malah menjurus makin menanjak terjal dengan karakteristik medan berbatu. Siksaan tanjakan terjal ini membuat ritme berjalan rombongan kami semakin melambat, hingga kemalaman sebelum sampai di area berkemah.
Merapi ternyata bukan hanya tentang summit attack yang katanya menyulitkan, namun sejak awal pun pendakian Gunung ini benar-benar sangat menguras fisik dan meneror mental.
Sebuah plang berwarna kuning terang tertancap kokoh di atas tanah berbatu di area Pasar Bubrah. Tulisannya berbunyi "Stop" ditulis dengan ukuran besar disertai dua tanda seru yang mengancam, dilanjutkan kalimat : "Berhenti di Sini, Batas Aman Pendakian".
Isu tentang pendakian Merapi yang dianjurkan hanya sampai Pasar Bubrah itu ternyata benar adanya. Pihak pengelola nampaknya tak mau ambil resiko kembali menambah korban tumbang di gunung ini.
"Gimana bro? lanjut muncak ngga nih?" Beberapa kawan mulai ragu untuk muncak setelah membaca tulisan di plang tersebut. Kami pun mulai terlibat diskusi kecil-kecilan untuk mengambil keputusan. Bagi saya, puncak adalah bonus dari perjalanan, dan juga menginjakkan kaki di puncak Merapi tak pernah jadi ambisi untuk diwujudkan.
Namun dari Pasar Bubrah, puncak merapi letaknya sudah tak jauh lagi bro, sesekali saat kabut mulai menipis tertiup angin, tanah tertinggi itu menampakkan kemegahannya seolah melambaikan tangan mengundang saya untuk datang kesana.
Karena tiba-tiba rasa penasaran datang menyerang, apalagi saat ini kami sudah terlanjur berada disini, dan lagi pendaki lain juga banyak yang sedang naik ke puncak. Setelah menimbang-nimbang factor-faktor tersebut, akhirnya kami ambil resiko untuk lanjut mendaki menuju puncak.
Entah karena saat itu keadaan masih cukup gelap, atau mungkin juga factor kualat karena melanggar batas, rombongan saya dan beberapa pendaki lain harus terjebak di jalur yang salah. Alih-alih lewat jalur kiri dengan trek berpasir yang biasanya dilewati banyak pendaki, kami malah lewat jalur kanan yang punya medan pasir kerikil dengan banyak batu besar yang rawan lepas menggelinding ke bawah.
Belum sampai setengah perjalanan, kaki saya sudah gemetaran bingung mencari pijakan yang aman dan tak membahayakan orang-orang yang mengekor di belakang. Belum ulagi konsentrasi harus terus dijaga demi bersiap-siap jika sewaktu-waktu ada batu besar yang datang dari atas. Dalam hati berkali-kali saya mengumpat kesal, sambil terus berdoa karena takut terjadi satu hal yang tak diinginkan.
Dari atas sini saya bisa melihat 3 orang kawan yang masih kesulitan naik jauh di bawah sana. Agak egois memang, namun terus terang saya bingung, jangankan menolong kawan yang lain, berusaha untuk menolong diri sendiri saja sudah sangat menyulitkan.
Di sisi lain di jalur yang benar, serombongan bule malah asik meluncur turun di tanah berpasir. Mereka terlihat benar-benar menikmati seluncuran di atas trek pasir layaknya atlit ski di gunung bersalju seperti yang sering saya lihat di film-film. 2 jalur yang posisinya yang tak terlalu jauh ini benar-benar memunculkan situasi yang sangat kontras.
Setelah bersusah payah memacu adrenalin di jalur berbahaya, akhirnya saya tiba juga di bibir kawah Gunung Merapi yang katanya terkenal hingga ke mancanegara. Beberapa waktu lalu, tempat ini sempat menjadi hits dan mendominasi headline pemberitaan Nasional akibat kejadian tewasnya seorang pendaki yang terjatuh ke dasar kawah cuma gara-gara foto selpi di puncak tusuk gigi.
Karena masih sangat pagi, saat itu kawah merapi sedang berselubung kabut tebal bercampur asap belerang, membatasi jarak pandang saat sejenak melongok untuk melihat dasar kawah. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya kabut perlahan mulai menghilang dan memunculkan pemandangan mengerikan dasar kawah yang sangat dalam dengan hembusan asap belerang yang keluar tanpa henti.
Tepian kawah didominasi tebing bebatuan kasar yang nampak sangat labil, yang sepertinya sangat rawan longsor. Di bagian tertinggi, sebongkah batu runcing yang disebut puncak tusuk gigi atau banyak yang menyebutnya puncak garuda berdiri dengan gagah.
Tak banyak yang saya lakukan di puncak ini, cuma menyalami teman-teman sesaat setelah tiba, berkeliling sejenak untuk mengambil beberapa gambar, dan selanjutnya menikmati sebatang rokok sambil menonton kelakuan orang-orang di sekitar sembari menunggu teman lain yang belum kunjung tiba.
Sibuk membuat tulisan pesan di kertas untuk kemudian diabadikan dengan kamera masih menjadi kegiatan favorit banyak pendaki di atas sini. Sementara yang sebagian lainnya antri berebut plang bertuliskan puncak gunung merapi sekian mdpl untuk dipakai aksesoris berfoto.
| Syaifuf Adidharta -www.posterindo.com | Pendakian Tim Pendaki Ds. Tlogowero, Bansari, Temanggung, Jateng |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H