Cekungan Jakarta, menurut Sopaheluwakan, terbentuk dari tanah sedimen muda sangat tebal tetapi belum terkonsolidasi. Akibatnya, secara geologis, tanah di Jakarta perlahan turun. Penurunan tanah di Jakarta diperparah pengambilan air tanah secara besar-besaran. ”Penurunan tanah di Jakarta bervariasi di beberapa tempat, 4-20 sentimeter per tahun,” katanya.
Kondisi tanah yang secara geologis merupakan cekungan menyebabkan pada masa lalu sebagian kawasan Jakarta berupa rawa-rawa yang dikepung sungai-sungai. Sebagian dataran yang kering pada musim kemarau menjadi daerah parkir air waktu banjir. Di masa kolonial, daerah luapan banjir dinyatakan sebagai daerah parkir air dan dinyatakan sebagai daerah pertanian dan kawasan hijau. Pemanfaatannya untuk kawasan terbangun maksimal 5 persen dari luas tanah.
Sejak 1960-an, kawasan parkir air diuruk. Sebagai contoh, kawasan Tebet yang sebenarnya adalah luapan banjir Sungai Ciliwung, kawasan Mampang yang merupakan luapan banjir Sungai Krukut, dan Kebayoran Lama yang merupakan luapan banjir Sungai Grogol.
Ancaman banjir di Jakarta bertambah parah seiring perubahan kawasan dataran tinggi yang mengelilingi cekungan menjadi pusat permukiman baru. Waduk-waduk dan rawa-rawa yang banyak di pinggiran Jakarta kini dikeringkan dan dijadikan hunian. Akibatnya, kawasan untuk resapan air justru mengirim lebih banyak air permukaan ke Jakarta.
*****
Ditulis dan disari dari berbagai sumber terkait oleh Syaifud Adidharta - (edisi:2)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H