Mohon tunggu...
Syaifud Adidharta 2
Syaifud Adidharta 2 Mohon Tunggu... Kompasianer -

Hidup Ini Hanya Satu Kali. Bisakah Kita Hidup Berbuat Indah Untuk Semua ?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jakarta Tidak Penah Luput dari Banjir Setiap Tahunnya...

15 Januari 2014   16:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:48 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aarrrgh!!

*****

Masih ingat lirik kagi tersebut diatas?. Ya itulah kumandang lagu legendaris Betawi (Jakarta), Almarhum Benyamin Sueb. Lagunya justru selalu sering kalimen jadi ikon Ibu Kota Jakarta untuk setiap tahunnya, ya banjir, ya kebakaran...

Ibu Kota Jakarta salah satu kota metropolitan tersibuk di Indonesia, dan kota tersibut urutan ke lima di dunia setelah New York di Amerika Serikat. Sayangnya Ibu Kota Jakarta yang juga menjadi Ibu Kota Negara Indonesia sering kali dilanda banjir dan juga sering terjadi kebakaran dihampir tempat di Jakarta. Inilah tradisi Ibu Kota Negara Indonesia, DKI Jakarta...

Dan mungkin sebagian banyak dari kita semua belum mengetahui sejarah mengapa Jakarta sering dilanda banjir?.  Dan Jakarta sebenarnya sampai kapanpun menjadi Jakarta kota banjir, kalau warganya masih saja sulit diatur dan ditata dengan baik. Pada prinsifnya wajib wagi warga Jakarta memiliki banyak kesadaran dalam kenjaga dan merawat lingkungannya.

Dulu Jan Pieterszoon Coen memimpikan duplikat Amsterdam di Belanda ketika meminta Simon Stevin merancang sebuah kota di muara Sungai Ciliwung yang sering kebanjiran pada 1619. Kota yang dibangun di atas reruntuhan Jayakarta itu dikelilingi parit-parit, tembok kota, lengkap dengan kanal.

Dengan kanal-kanal itu, Coen berharap bisa mengatasi banjir, sekaligus menciptakan sebuah kota yang menjadi lalu lintas pelayaran, sebagaimana kota-kota di Belanda. Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok dialihkan dan digantikan sebuah terusan lurus, Kali Besar, memotong kota menjadi dua bagian.

Namun, impian Coen hanya bertahan singkat. Kota Batavia, yang dibangun Coen, memang sempat dijuluki ”Venesia dari Timur”. Namun, tak lama kemudian, pertumbuhan kota tak terkendali, rumah-rumah yang ada sempit dan berimpit. Endapan lumpur yang memampetkan terusan berbau busuk dan menjadi sarang malaria.

Akan tetapi banjir ternyata tak terbendung. Hanya tiga tahun sejak dibangun, tahun 1621, Batavia kebanjiran. Banjir juga terjadi pada 1654 dan sejak itu terus membesar. Kota yang dirancang Coen ini perlahan ditinggalkan.

Menurut catatan Restu Gunawan, sejarawan yang meneliti riwayat banjir Jakarta sejak zaman kolonial hingga sekarang, pada akhir abad ke-18, terjadi perpindahan besar-besaran penduduk Batavia ke daerah yang lebih tinggi dan sehat di selatan, yaitu Weltevreden.

Weltevreden yang semula hutan dan rawa-rawa lantas berkembang pesat. Apalagi 1807, Herman Willem Daendels membangun pusat pemerintahan ibu kota koloni Belanda di Asia di Weltevreden. Awalnya, Daendels hendak membangun pusat pemerintahan di Semarang atau Surabaya. Karena alasan biaya, dia membangun di Weltevreden. Pada 1830, ibu kota Hindia Belanda resmi pindah ke Weltevreden, sekitar Lapangan Banteng saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun