[caption id="attachment_251362" align="aligncenter" width="500" caption="Terpidana Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji akan selalu lakukan manuver kekebalan hukum bagi dirinya. (photo ilustrasi : Syaifud Adidharta)"][/caption]
Sang Komisaris Jenderal yang merasa paling kuat, berpengaruh dan kebal hukum kini kembali membuat sensasi dengan berbagai argomentasi membela diri dari jeratan eksekusi hukum kepadanya. Dulu dirinya sukses menebar sensasi CICAK vs BUAYA. Kali ini dirinya kembali membuat manuver barunya dengan berdalih hukum yang tidak bisa menjerat dirinya dari dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri (24 Oktober 2008 – 30 November 2009) dan mantan Kapolda Jawa Barat (15 Januari 2008 – 24 Oktober 2008). Susno Duadji tetap bersisih kuat atas pembelaan dirinya dari eksekusi hukum yang katanya salah alamat. Diaberanggapan keputusan pengadilan sangatlah tidak profesional dalam membuat data administrasi hukum untuk dirinya, dan keputusan eksekusi tersebut betul-betul tidak tepat ke alamatnya.
Segala cara dilakukan Susno Duadji untuk membela dirinya keluar dari jeratan hukum atas keterlibatannya dalam tidakan korupsi yang terbukti telah dilakukannya. Sementara itu dalam amar putusannya, majelis hakim menilai Susno Duadji terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus PT Salmah Arwana Lestari, (PT SAL), saat dirinya menjabat sebagai kabareskrim mabes polri.
Selain itu Susno Duadji juga terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait dana pengamanan pilkada Jawa Barat pada tahun 2008, saat menjabat Kapolda Jawa Barat. Atas perbuatannya tersebut majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara kepada Susno Duadji selama 3,5 tahun, membayar denda sebesar 200 juta rupiah dan membayar uang pengganti sebesar 4 milyar rupiah. Susno Duadji sendiri menyatakan akan banding atas putusan dari majelis hakim. Hebatnya Susno Duadji, sang Jenderal yang lincah bagaikan Buaya yang siap menyantap si Cicak. Buaya di sini ternyata Susno Duadji, dan si Cicak adalah Pengadilan, Mahkamah Agung.
Padahal vonis majelis hakim sendiri lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman 7 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah, kepadanya . Akan tetapi Susno Duadji tetap kuat melakukan berbagai gerakan perlawanannya, baik secara hak jawabnya sampai dengan beraninya membayar orang untuk menjadi bodygarnya, dan tidak tanggung-tanggung kesatuan kepolisian Jawa Barat rela untuk melindunginya dari penjeputan Mahkamah Agung. Selain itu Susno Duadji pun telah nekat bergabung kesalah satu partai politik, Partai Bulan Bintang peserta Pemilu 2014 mendatang.
Susno Duadji, sang Jendelal yang sesungguhnya tahu dan paham betul tentang Hukum, dan bahkan dirinya juga salah satu mantan penegak Hukum di negara ini. Pada dasar itulah Susno Duadji seharusnya bisa memahami dan mau sadar hukum yang lebih tinggi, bukannya harus melakukan berbagai perlawanan kepada Hukum.
[caption id="" align="aligncenter" width="465" caption="Mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji (kemeja putih), dikawal ketat petugas keamanan, di Bandung, Jawa Barat, Rabu (24 April 2013) > | photo : antaranews.com"]
Memang betul keputusan Mahkamah Agung atas keputusan eksekusi kepada dirinya ada sedikit kesalah pahaman di dalam data administrasinya, namun hal itu sesungguhnya bisa di komfirmasikan lebih lunak sesuai redaksional Hukum itu sendiri berdasarkan UU peradilan yang berlaku. Bukanya harus mencari kesalahan Mahkamah Agung atas eksekusi terhadap dirinya.
Kalau dihitung-hitung sebenarnya tindakan kriminalitas Susno Duadji lebih besar nilainya ketimbang kesalahan penetapan data adminitrasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung. Susno Duadji lebih keji dan pembunuh darah dingin, buktinya dirinya yang pernah menjawab sebagai penegak hukum tertinggi di negara ini, telah teganya melakukan tindakan korupsi uang negara.
Justru seharusnya uang negara itu bisa digunakan untuk keperluan rakyat Indonesia, bukan untuk kepentingan dirinya, juga keluarganya sendiri. Dan Susno Duadji-lah yang justru telah melakukan pelanggaran HAM, yaitu merampas uang negara, uang rakyat Indonesia.
Sang Jenderal yang merasa paling kuat, berpengaruh dan kebal hukum kini kembali membuat sensasi dengan berbagai argomentasi membela diri dari jeratan eksekusi hukum kepadanya. Dulu dirinya sukses menebar sensasi CICAK vs BUAYA. Kali ini dirinya kembali membuat manuver barunya dengan berdalih hukum yang tidak bisa menjerat dirinya dari dieksekusi oleh Mahkamah Agung.
Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri (24 Oktober 2008 – 30 November 2009) dan mantan Kapolda Jawa Barat (15 Januari 2008 – 24 Oktober 2008). Susno Duadji tetap bersisih kuat atas pembelaan dirinya dari eksekusi hukum yang katanya salah alamat. Diaberanggapan keputusan pengadilan sangatlah tidak profesional dalam membuat data administrasi hukum untuk dirinya, dan keputusan eksekusi tersebut betul-betul tidak tepat ke alamatnya.
Segala cara dilakukan Susno Duadji untuk membela dirinya keluar dari jeratan hukum atas keterlibatannya dalam tidakan korupsi yang terbukti telah dilakukannya. Sementara itu dalam amar putusannya, majelis hakim menilai Susno Duadji terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam penanganan kasus PT Salmah Arwana Lestari, (PT SAL), saat dirinya menjabat sebagai kabareskrim mabes polri.
Selain itu Susno Duadji juga terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait dana pengamanan pilkada Jawa Barat pada tahun 2008, saat menjabat Kapolda Jawa Barat. Atas perbuatannya tersebut majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara kepada Susno Duadji selama 3,5 tahun, membayar denda sebesar 200 juta rupiah dan membayar uang pengganti sebesar 4 milyar rupiah. Susno Duadji sendiri menyatakan akan banding atas putusan dari majelis hakim. Hebatnya Susno Duadji, sang Jenderal yang lincah bagaikan Buaya yang siap menyantap si Cicak. Buaya di sini ternyata Susno Duadji, dan si Cicak adalah Pengadilan, Mahkamah Agung.
[caption id="attachment_251369" align="aligncenter" width="500" caption="Kejaksaan Agung (Kejakgung) tidak kunjung berhasil mengeksekusi mantan kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji. Jaksa Agung Basrief Arief pun mengimbau Susno untuk menyerahkan diri. (photo ilustrasi : Syaifud Adidharta)"]
Padahal vonis majelis hakim sendiri lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman 7 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah, kepadanya . Akan tetapi Susno Duadji tetap kuat melakukan berbagai gerakan perlawanannya, baik secara hak jawabnya sampai dengan beraninya membayar orang untuk menjadi bodygarnya, dan tidak tanggung-tanggung kesatuan kepolisian Jawa Barat rela untuk melindunginya dari penjeputan Mahkamah Agung. Selain itu Susno Duadji pun telah nekat bergabung kesalah satu partai politik, Partai Bulan Bintang peserta Pemilu 2014 mendatang.
Susno Duadji, sang Jendelal yang sesungguhnya tahu dan paham betul tentang Hukum, dan bahkan dirinya juga salah satu mantan penegak Hukum di negara ini. Pada dasar itulah Susno Duadji seharusnya bisa memahami dan mau sadar hukum yang lebih tinggi, bukannya harus melakukan berbagai perlawanan kepada Hukum.
Memang betul keputusan Mahkamah Agung atas keputusan eksekusi kepada dirinya ada sedikit kesalah pahaman di dalam data administrasinya, namun hal itu sesungguhnya bisa di komfirmasikan lebih lunak sesuai redaksional Hukum itu sendiri berdasarkan UU peradilan yang berlaku. Bukanya harus mencari kesalahan Mahkamah Agung atas eksekusi terhadap dirinya.
Kalau dihitung-hitung sebenarnya tindakan kriminalitas Susno Duadji lebih besar nilainya ketimbang kesalahan penetapan data adminitrasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung. Susno Duadji lebih keji dan pembunuh darah dingin, buktinya dirinya yang pernah menjawab sebagai penegak hukum tertinggi di negara ini, telah teganya melakukan tindakan korupsi uang negara.
Justru seharusnya uang negara itu bisa digunakan untuk keperluan rakyat Indonesia, bukan untuk kepentingan dirinya, juga keluarganya sendiri. Dan Susno Duadji-lah yang justru telah melakukan pelanggaran HAM, yaitu merampas uang negara, uang rakyat Indonesia.
Susno Duadji telah memberikan pelajar yang tidak baik kepada bawahannya dan kepada mantan bawahannya sendiri terhadap pemberlakuan hukum dan penegakkannya. Susno Duadji tidak pantas menjadi panutan bagi para polisi di negara ini, justru Susno Duadji bisa menjadi bumerang hitam bagi kepolisian Republik Indonesia. Apalagi saat ini Susno Duadji telah bersembunyi dari kasusnya, menghilangkan diri tanpa jejak menghindar dari jeratan eksekusi hukum untuk dirinya.
Dan hukuman yang pantas untuk Susno Duadji adalah HUKUMAN MATI, dengan cara di tembak di muka umum. Barang kali Susno Duadji bakal menjadi calon baru penembakan gelap yang mungkin akan dialaminya seperti rekan-rekan polisi lainnya, seperti kasus di Lapas Cebongan Sleman Yogyakarta. Ini bisa saja terjadi oleh diri Susno Duadji, apabila memang Susno Duadji masih saja berkelakar diri melakukan berbagai perlawanan terhadap hukum.
----
Sekilas Catatan Kontroversi Susno Duadji
- Pernyataan Susno yang berbunyi "Ibaratnya di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya" telah menimbulkan kontroversi hebat di Indonesia. Akibat dari pernyataan ini muncul istilah "cicak melawan buaya" yang sangat populer. Istilah ini juga memicu gelombang protes dari berbagai pihak dan membuat banyak pihak yang merasa anti terhadap korupsi menamakan diri mereka sebagai Cicak dan sedang melawan para "Buaya" yang diibaratkan sebagai Kepolisian.
- Kode "Truno 3" disebut dalam percakapan yang disadap oleh KPK sehubungan dengan kasus bank Century.
- Pernyataan Susno yang berbunyi ”Jangan Pernah Setori Saya” juga terkenal saat ia menjabat sebagai kapolda Jabar.
- Susno mengungkapkan adanya seorang pegawai pajak yang mempunyai rekening tidak wajar. Pegawai pajak yang dimaksud adalah Gayus Tambunan dan akibat dari terbongkarnya kasus ini, beberapa jenderal polisi, pejabat kejaksaan, kehakiman dan aparat dari Departemen Keuangan Republik Indonesia kehilangan jabatanya dan diperiksa atas dugaan bersekongkol untuk merugikan negara. Dari sebab itu, Susno sering disebut sebagai seorang whistle Blower.
- Susno menyebutkan seorang mafia kasus ditubuh POLRI yang bernama Mr. X , dikemudian hari diduga Mr.X itu adalah seorang mantan diplomat dan anggota BIN bernama Sjahril Djohan.
*.* penulis : Syaifud Adidharta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H