Latar Belakang
Kekerasan Berbasis Gender (KBG) atau Gender-Based Violence merupakan tindak kekerasan yang didasari alasan gender individu ataupun menimpa gender tertentu di masyarakat. Perempuan kerap kali menjadi korban KBG karena pandangan patriarkis yang mengakar dan menghasilkan ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Mengutip UN Women (2023), terdapat beragam bentuk kekerasan pada perempuan, seperti fisik, seksual, psikologis, ekonomi, dan segala bentuk yang menyengsarakan perempuan. Dalam tulisan ini penulis akan lebih berfokus pada kekerasan seksual dan berbasis gender (KSGB) karena didalamnya mencakup kekerasan fisik dan seksual. Menurut Krause (2015), KSGB adalah tindakan pelanggaran keinginan individu yang didasari oleh gender melibatkan fisik, emosi, seksual, dan psikologis melalui percobaan dan ancaman. Adapun beberapa contohnya; pelecehan–kekerasan seksual, pemerkosaan, dan femicide (pembunuhan perempuan).
Konflik etnis Rohingya di Myanmar menjadi salah satu contoh maraknya kekerasan secara fisik dan seksual pada perempuan. Situasi konflik pause and pounce yang berkepanjangan, menjadikan etnis Rohingya terbiasa atas situasi konflik dan mencari suaka (mengungsi) ke negara lain. Dalam konteks ini, perempuan terus menjadi korban baik selama konflik maupun situasi setelahnya—pasca konflik. Dalam bagian berikutnya, penulis akan menganalisis bagaimana kekerasan perempuan terjadi di konflik Rohingya.
Kerangka Konsep Double Burden Perempuan dalam Situasi Konflik
Double Burden atau ‘beban ganda’ merupakan situasi yang dialami perempuan ketika menjalankan kehidupan publik yang secara bersamaan perempuan harus memenuhi perannya di ranah domestik. Konsep besar ini dapat diterapkan dalam menganalisis berbagai fenomena yang dihadapi oleh perempuan, salah satunya situasi konflik. Pada umumnya, kekerasan perempuan mengalami peningkatan dalam situasi-situasi krisis, terutama saat konflik. Keadaan yang tidak stabil mendorong masyarakat dan nilai-norma tidak mampu menjamin pandangan setara antara perempuan dan laki-laki (Unicef, 2022). Kekerasan dalam konflik lahir karena hasrat laki-laki serta pandangan diskriminatif atas perempuan (Davies & True, 2015). Namun, apapun alasannya perempuan tetap berada di posisi paling dirugikan karena—baik selama konflik maupun setelah konflik —perempuan terus menjadi korban.
Farr (2009) membagi beberapa alasan kekerasan perempuan dalam konflik—terutama KSGB—berdasarkan beberapa alasan. Pertama, tipe opportunistic merupakan kekerasan yang didasari pengambilan kesempatan pihak dominan untuk mengopresi perempuan. Kedua, woman-targeted adalah kekerasan yang menargetkan perempuan guna membatasi mobilitas dan hak otonomi mereka. Selanjutnya, Ethnic-targeted menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan karena etnisitas yang dimilikinya. Terakhir, enemy-targeted merupakan situasi perempuan mengalami kekerasan karena ideologinya.
Selesainya konflik bukan berarti menyelesaikan kekerasan pada perempuan karena ketimpangan relasi gender justru semakin parah (Krause, 2015). Status hegemonik laki-laki lama kelamaan menghilang di saat tuntutan domestik perempuan terus bertambah. Oleh karena itu, kekerasan digunakan sebagai justifikasi untuk mempertahankan status tersebut. Pola ini akan terus berulang karena kekerasan dinormalisasi dan dianggap menjadi sifat naluriah laki-laki.
Berangkat dari penjelasan di atas, penulis berusaha menjawab pertanyaan, “Bagaimana perempuan menjadi korban Kekerasan Seksual dan Berbasis Gender (KSGB) dalam situasi konflik yang memposisikan perempuan di situasi double burden?”.
Konflik Rohingya
Rohingya adalah etnis muslim minoritas yang mendiami provinsi Rakhine, barat Myanmar, bersama etnis Rakhine yang beragama Buddha. Hidup dalam negara bermayoritas Buddha menjadikan etnis Rohingya sebagai kelompok marjinal yang mengalami persekusi secara sistematik dan kultural. Marginalisasi etnis Rohingya hingga saat ini belum kunjung selesai karena kuatnya keinginan pemerintah Myanmar untuk melakukan pembersihan etnis (ethnic cleansing). Korban jiwa terus berjatuhan bersamaan dengan perpindahan penduduk yang mencari pengungsian. Perempuan pun terus menjadi korban dari kekerasan seksual dan berbasis gender (KSGB) selama konflik. Tatmawada (militer) terus menggunakan strategi ethnic-targeted dan woman-targeted setiap kali konflik memanas. Selain menjadi sasaran menyebarkan ketakutan, penyerangan perempuan ditujukan menghambat pertumbuhan penduduk Rohingya (OHCHR, 2019). Pembunuhan atau perusakan organ reproduksi adalah contoh penerapan strategi ini. Guna memudahkan penjelasan, penulis membagi pola KSGB sesuai gelombang konflik; 2012, 2016, dan 2017
Gelombang konflik 2012 dapat dikatakan menjadi awal dari tragedi KSBG dalam konflik Rohingya di dekade ini. Stigmatisasi buruk pada etnis Rohingya sebagai teroris sekaligus kelompok ekstremis memicu etnis Rakhine melakukan penyerangan didukung oleh militer. Pada Juni 2012, 20 perempuan diculik ke pangkalan militer di Sittwe dan dijadikan budak seks selama berbulan-bulan. Pola semacam ini kembali terjadi pada Gelombang 2016 pasca penyerangan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang membunuh 9 aparat keamanan Myanmar (OHCHR, 2019). Sebagai balasan, “operasi pembersihan area” dimulai dengan menargetkan daerah Taungpyoletwea dan Maungdaw. Pemerkosaan secara massal dilakukan ketika para perempuan mengumpat dalam rumah saat penyerangan terjadi. Salah satu korban bahkan mengatakan, “lebih baik dibunuh oleh satwa liar” sebagai gambaran ketidakmanusiawian tindakan militer. Tidak berbeda jauh, Gelombang 2017 ditandai dengan “operasi pembersihan” yang merupakan respon dari penyerangan pos militer di perbatasan oleh ARSA pada Agustus 2017. Operasi ini dapat digolongkan sebagai genosida karena dilakukan secara sistematis oleh militer dan etnis Rakhine. Pola KSGB (pemerkosaan) sangat tergambar jelas ditujukan untuk menyebarkan ketakutan dan posisi menguatkan status Rohingya yang termarginalisasi. Pemerkosaan dilakukan tanpa melihat tempat, umumnya dilakukan saat perempuan berpisah dengan laki-laki atau di depan keluarga korban. Selain itu, para pelaku kerap kali menggunakan kekerasan selama proses pemerkosaan, bahkan tidak segan-segan untuk membunuh. Namun, tindakan paling tidak manusiawi dilakukan dengan meninggalkan bekas gigitan pada leher korban sebagai “penanda” sehingga dikucilkan masyarakat.
Pasca Konflik dan Situasi Pengungsian
Gelombang konflik 2017 setidaknya memaksa hampir 1 juta jiwa meninggalkan Rohingya dan mencari suaka di negara tetangga, dengan jumlah terbesar (500.000 jiwa) mencari suaka di Cox Bazar, selatan Bangladesh. Para pengungsi hidup dalam keadaan yang mengenaskan dengan bangunan seadanya tanpa memiliki cukup ventilasi dan sanitasi. Secara sosial perempuan tetap menjadi korban dari ketimpangan relasi gender. Para perempuan harus mengikuti ajaran purdah—pemisahan perempuan dan laki-laki—yang menghalangi perempuan untuk beraktivitas pada ranah publik dan harus mendekam di dalam rumah (Karin et al., 2020). Masalah ini diperparah dengan langgengnya relasi hegemonik para suami yang kerap menganiaya istri mereka sebagai wadah pelampiasan emosi. Kekerasan semacam ini sering terjadi apabila perempuan dinilai gagal dalam menjalankan urusan rumah tangga. Pandangan konservatif ini pun diterapkan pula oleh ARSA sebagai pihak berotoritas dalam tempat pengungsian. Tindakan koersif kerap dilakukan saat perempuan mulai aktif di luar ranah domestik. Secara bersamaan, KSGB pun masih menghantui para perempuan. Kasus kekerasan serta pelecehan seksual—pemerkosaan dan catcalling—menjadi hal yang lumrah saat perempuan pergi keluar rumah, terutama saat mengakses fasilitas kebersihan. Hal ini didasari rendahnya privasi dalam fasilitas kebersihan yang secara tidak langsung memfasilitasi tindak KSGB terjadi. Sebagai tambahan, perdagangan manusia sebagai budak seks banyak memakan korban para pengungsi (Sang, 2018). Umumnya perempuan remaja atau muda menjadi target utama tindakan tersebut.
Kesimpulan
Kekerasan perempuan yang didasari pandangan diskriminatif terus terjadi, terutama dalam situasi konflik. Nilai-norma yang melemah memfasilitasi opresi terhadap perempuan dapat terjadi. Oleh karena itu, perempuan kerap kali menerima double burden karena kesalahan yang mereka tidak lakukan. Berangkat dari sini, kita dapat menarik sebuah pelajaran yang memperlihatkan bahwa perempuan masih menjadi subordinat di bawah patriarkis. Hal ini pun selaras dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang tidak berbeda jauh. Meski Indonesia tidak lagi mengalami konflik komunal, setidaknya masyarakat dan pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah mitigasi bila hal ini terulang. Rekognisi ketimpangan antar gender dapat dijadikan langkah awal yang diambil. Setelah itu, proses institusionalisasi dapat dilakukan melalui produk hukum untuk membangun mekanisme yang menjamin perempuan tidak lagi menghadapi double burden. Dengan begitu, setidaknya perempuan di Indonesia dapat terjamin secara kesetaraan bila situasi konflik terulang di Indonesia.
Referensi
Davies, S. E., & True, J. (2015). Reframing conflict-related sexual and gender-based violence: Bringing gender analysis back in. Security Dialogue, 46(6), 495–512. https://doi.org/10.1177/0967010615601389
Farr, K. (2009). Extreme war rape in today’s civil-war-torn states: A contextual and comparative analysis. Gender Issues, 26(1), 1–41. https://doi.org/10.1007/s12147-009-9068-x
Karin, S., Chowdhury, Md. A., Hasnat, Md. A., & Tarin, N. J. (2020). Status of Rohingya in refugee camps of Bangladesh: A review study. OALib, 07(09), 1–24. https://doi.org/10.4236/oalib.1106575
Krause, U. (2015). A continuum of violence? linking sexual and gender-based violence during conflict, Flight, and Encampment. Refugee Survey Quarterly, 34(4), 1–19. https://doi.org/10.1093/rsq/hdv014
Sang, D. (2018). One Year On: Time to put women and girls at the heart of the Rohingya response. One Year On: Time to Put Women and Girls at The Heart of The Rohingya Response. https://doi.org/10.21201/2018.3194
UN Women. (2023, November 22). Violence against women and girls is one of the world’s most prevalent human rights violations, taking place every day, many times over, in every corner of the globe. it has serious short- and long-term physical, economic and psychological consequences on women and girls, preventing their full and equal participation in society. UN Women – Headquarters. https://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/faqs/types-of-violence
UN. Human Rights Council. Independent International Fact-Finding Mission on Human Rights in Myanmar. (2019). Sexual and gender-based violence in Myanmar and the gendered impact of its ethnic conflict. UHCHR.
UNICEF. (2022). Gender-based violence in emergencies. https://www.unicef.org/protection/gender-based-violence-in-emergencies
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H