Mohon tunggu...
Syahzmil
Syahzmil Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

Mencoba menyalurkan ilmu dan pemikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan Seksual dan Berbasis Gender (KSGB): Studi Kasus Perempuan dalam Konflik Rohingya

10 Desember 2023   18:00 Diperbarui: 10 Desember 2023   18:40 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca Konflik dan Situasi Pengungsian

Gelombang konflik 2017 setidaknya memaksa hampir 1 juta jiwa meninggalkan Rohingya dan mencari suaka di negara tetangga, dengan jumlah terbesar (500.000 jiwa) mencari suaka di Cox Bazar, selatan Bangladesh. Para pengungsi hidup dalam keadaan yang mengenaskan dengan bangunan seadanya tanpa memiliki cukup ventilasi dan sanitasi. Secara sosial perempuan tetap menjadi korban dari ketimpangan relasi gender. Para perempuan harus mengikuti ajaran purdah—pemisahan perempuan dan laki-laki—yang menghalangi perempuan untuk beraktivitas pada ranah publik dan harus mendekam di dalam rumah (Karin et al., 2020). Masalah ini diperparah dengan langgengnya relasi hegemonik para suami yang kerap menganiaya istri mereka sebagai wadah pelampiasan emosi. Kekerasan semacam ini sering terjadi apabila perempuan dinilai gagal dalam menjalankan urusan rumah tangga. Pandangan konservatif ini pun diterapkan pula oleh ARSA sebagai pihak berotoritas dalam tempat pengungsian. Tindakan koersif kerap dilakukan saat perempuan mulai aktif di luar ranah domestik.  Secara bersamaan, KSGB pun masih menghantui para perempuan. Kasus kekerasan serta pelecehan seksual—pemerkosaan dan catcalling—menjadi hal yang lumrah saat perempuan pergi keluar rumah, terutama saat mengakses fasilitas kebersihan. Hal ini didasari rendahnya privasi dalam fasilitas kebersihan yang secara tidak langsung memfasilitasi tindak KSGB terjadi. Sebagai tambahan, perdagangan manusia sebagai budak seks banyak memakan korban para pengungsi (Sang, 2018). Umumnya perempuan remaja atau muda menjadi target utama tindakan tersebut. 

Kesimpulan 

Kekerasan perempuan yang didasari pandangan diskriminatif terus terjadi, terutama dalam situasi konflik. Nilai-norma yang melemah memfasilitasi opresi terhadap perempuan dapat terjadi. Oleh karena itu, perempuan kerap kali menerima double burden karena kesalahan yang mereka tidak lakukan. Berangkat dari sini, kita dapat menarik sebuah pelajaran yang memperlihatkan bahwa perempuan masih menjadi subordinat di bawah patriarkis. Hal ini pun selaras dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang tidak berbeda jauh. Meski Indonesia tidak lagi mengalami konflik komunal, setidaknya masyarakat dan pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah mitigasi bila hal ini terulang. Rekognisi ketimpangan antar gender dapat dijadikan langkah awal yang diambil. Setelah itu, proses institusionalisasi dapat dilakukan melalui produk hukum untuk membangun mekanisme yang menjamin perempuan tidak lagi menghadapi double burden. Dengan begitu, setidaknya perempuan di Indonesia dapat terjamin secara kesetaraan bila situasi konflik terulang di Indonesia. 

Referensi 

Davies, S. E., & True, J. (2015). Reframing conflict-related sexual and gender-based violence: Bringing gender analysis back in. Security Dialogue, 46(6), 495–512. https://doi.org/10.1177/0967010615601389

Farr, K. (2009). Extreme war rape in today’s civil-war-torn states: A contextual and comparative analysis. Gender Issues, 26(1), 1–41. https://doi.org/10.1007/s12147-009-9068-x

Karin, S., Chowdhury, Md. A., Hasnat, Md. A., & Tarin, N. J. (2020). Status of Rohingya in refugee camps of Bangladesh: A review study. OALib, 07(09), 1–24. https://doi.org/10.4236/oalib.1106575

Krause, U. (2015). A continuum of violence? linking sexual and gender-based violence during conflict, Flight, and Encampment. Refugee Survey Quarterly, 34(4), 1–19. https://doi.org/10.1093/rsq/hdv014

Sang, D. (2018). One Year On: Time to put women and girls at the heart of the Rohingya response. One Year On: Time to Put Women and Girls at The Heart of The Rohingya Response. https://doi.org/10.21201/2018.3194

UN Women. (2023, November 22). Violence against women and girls is one of the world’s most prevalent human rights violations, taking place every day, many times over, in every corner of the globe. it has serious short- and long-term physical, economic and psychological consequences on women and girls, preventing their full and equal participation in society. UN Women – Headquarters. https://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/faqs/types-of-violence

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun