Pasca Konflik dan Situasi Pengungsian
Gelombang konflik 2017 setidaknya memaksa hampir 1 juta jiwa meninggalkan Rohingya dan mencari suaka di negara tetangga, dengan jumlah terbesar (500.000 jiwa) mencari suaka di Cox Bazar, selatan Bangladesh. Para pengungsi hidup dalam keadaan yang mengenaskan dengan bangunan seadanya tanpa memiliki cukup ventilasi dan sanitasi. Secara sosial perempuan tetap menjadi korban dari ketimpangan relasi gender. Para perempuan harus mengikuti ajaran purdah—pemisahan perempuan dan laki-laki—yang menghalangi perempuan untuk beraktivitas pada ranah publik dan harus mendekam di dalam rumah (Karin et al., 2020). Masalah ini diperparah dengan langgengnya relasi hegemonik para suami yang kerap menganiaya istri mereka sebagai wadah pelampiasan emosi. Kekerasan semacam ini sering terjadi apabila perempuan dinilai gagal dalam menjalankan urusan rumah tangga. Pandangan konservatif ini pun diterapkan pula oleh ARSA sebagai pihak berotoritas dalam tempat pengungsian. Tindakan koersif kerap dilakukan saat perempuan mulai aktif di luar ranah domestik.  Secara bersamaan, KSGB pun masih menghantui para perempuan. Kasus kekerasan serta pelecehan seksual—pemerkosaan dan catcalling—menjadi hal yang lumrah saat perempuan pergi keluar rumah, terutama saat mengakses fasilitas kebersihan. Hal ini didasari rendahnya privasi dalam fasilitas kebersihan yang secara tidak langsung memfasilitasi tindak KSGB terjadi. Sebagai tambahan, perdagangan manusia sebagai budak seks banyak memakan korban para pengungsi (Sang, 2018). Umumnya perempuan remaja atau muda menjadi target utama tindakan tersebut.Â
KesimpulanÂ
Kekerasan perempuan yang didasari pandangan diskriminatif terus terjadi, terutama dalam situasi konflik. Nilai-norma yang melemah memfasilitasi opresi terhadap perempuan dapat terjadi. Oleh karena itu, perempuan kerap kali menerima double burden karena kesalahan yang mereka tidak lakukan. Berangkat dari sini, kita dapat menarik sebuah pelajaran yang memperlihatkan bahwa perempuan masih menjadi subordinat di bawah patriarkis. Hal ini pun selaras dengan lingkungan masyarakat Indonesia yang tidak berbeda jauh. Meski Indonesia tidak lagi mengalami konflik komunal, setidaknya masyarakat dan pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah mitigasi bila hal ini terulang. Rekognisi ketimpangan antar gender dapat dijadikan langkah awal yang diambil. Setelah itu, proses institusionalisasi dapat dilakukan melalui produk hukum untuk membangun mekanisme yang menjamin perempuan tidak lagi menghadapi double burden. Dengan begitu, setidaknya perempuan di Indonesia dapat terjamin secara kesetaraan bila situasi konflik terulang di Indonesia.Â
ReferensiÂ
Davies, S. E., & True, J. (2015). Reframing conflict-related sexual and gender-based violence: Bringing gender analysis back in. Security Dialogue, 46(6), 495–512. https://doi.org/10.1177/0967010615601389
Farr, K. (2009). Extreme war rape in today’s civil-war-torn states: A contextual and comparative analysis. Gender Issues, 26(1), 1–41. https://doi.org/10.1007/s12147-009-9068-x
Karin, S., Chowdhury, Md. A., Hasnat, Md. A., & Tarin, N. J. (2020). Status of Rohingya in refugee camps of Bangladesh: A review study. OALib, 07(09), 1–24. https://doi.org/10.4236/oalib.1106575
Krause, U. (2015). A continuum of violence? linking sexual and gender-based violence during conflict, Flight, and Encampment. Refugee Survey Quarterly, 34(4), 1–19. https://doi.org/10.1093/rsq/hdv014
Sang, D. (2018). One Year On: Time to put women and girls at the heart of the Rohingya response. One Year On: Time to Put Women and Girls at The Heart of The Rohingya Response. https://doi.org/10.21201/2018.3194
UN Women. (2023, November 22). Violence against women and girls is one of the world’s most prevalent human rights violations, taking place every day, many times over, in every corner of the globe. it has serious short- and long-term physical, economic and psychological consequences on women and girls, preventing their full and equal participation in society. UN Women – Headquarters. https://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/faqs/types-of-violence