Oleh Syah Zehan ZN
Mahasiswi Semester 5 Jurusan Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Pendekatan yang dikembangkan oleh Saylor, Alexander, dan Lewis merupakan salah satu model sistematis dalam pengembangan kurikulum. Model ini menitikberatkan keterkaitan erat antara tujuan pendidikan, pengalaman belajar, pengorganisasian materi, dan evaluasi pembelajaran. Dalam kaitannya dengan pengembangan kompetensi lulusan, pendekatan ini menyediakan panduan komprehensif untuk memastikan peserta didik memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, serta tuntutan zaman. Kompetensi lulusan yang dirumuskan melalui pendekatan ini harus mencakup dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik, serta diselaraskan dengan visi dan misi institusi pendidikan.
1. Kompetensi Lulusan sebagai Sasaran Utama Pendidikan
Dalam teori Saylor, kompetensi lulusan adalah wujud dari pencapaian tujuan akhir pendidikan. Kompetensi ini menggambarkan hasil pembelajaran yang dirancang secara menyeluruh dan terintegrasi. Untuk merancang kurikulum, lembaga pendidikan perlu mendefinisikan profil lulusan yang diharapkan, mengacu pada visi dan misi yang mereka emban. Sebagai ilustrasi, di lembaga pendidikan Islam, lulusan diharapkan memiliki kemampuan intelektual yang baik, pemahaman moral dan nilai-nilai agama yang mendalam, serta keterampilan sosial yang memadai. Kompetensi ini bertujuan untuk menghadapi tantangan global tanpa kehilangan identitas lokal dan nilai-nilai religius. Di tingkat pendidikan dasar seperti TK dan SD, lulusan sebaiknya memiliki kompetensi dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung, sekaligus dilengkapi nilai-nilai karakter Islami, seperti kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab.
2. Dimensi Kompetensi: Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik
Pendekatan Saylor menegaskan bahwa kompetensi lulusan harus mencakup tiga dimensi utama: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Ketiga dimensi ini saling melengkapi untuk menciptakan individu yang utuh dan seimbang. Kognitif: Kompetensi ini melibatkan kemampuan memahami, menganalisis, dan menerapkan pengetahuan dalam berbagai konteks. Misalnya, lulusan pendidikan menengah sebaiknya mampu memecahkan masalah matematis, memahami konsep sains, atau menggunakan prinsip logika untuk menyelesaikan persoalan kehidupan sehari-hari.
Afektif: Kompetensi afektif berkaitan dengan pengembangan nilai, sikap, dan karakter. Pendekatan Saylor menekankan pentingnya membentuk lulusan yang bermoral, memiliki rasa tanggung jawab, dan mampu berempati terhadap orang lain. Sikap toleransi, kepedulian sosial, dan komitmen etis adalah contoh kompetensi afektif yang harus dimiliki lulusan.
Psikomotorik: Dimensi ini mencakup keterampilan praktis atau teknis, seperti kemampuan motorik halus, seni, olahraga, atau keterampilan kerja tertentu. Contohnya, lulusan sekolah kejuruan diharapkan menguasai pengoperasian peralatan teknis atau menyelesaikan tugas-tugas yang spesifik sesuai bidang keahliannya.
3. Penyesuaian Kompetensi dengan Perkembangan Zaman
Pendekatan Saylor menekankan bahwa kompetensi lulusan harus dirancang untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Kurikulum harus menyiapkan peserta didik agar mampu menghadapi perubahan global, seperti perkembangan teknologi, transformasi dunia kerja, dan keberagaman budaya. Sebagai contoh, di era Revolusi Industri 4.0, lulusan perguruan tinggi diharapkan memiliki kemampuan digital, seperti penguasaan teknologi informasi, berpikir kritis, dan berinovasi. Namun, kompetensi ini perlu diimbangi dengan penanaman nilai-nilai etika agar lulusan tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan kesadaran sosial.
4. Evaluasi untuk Mengukur Pencapaian Kompetensi
Langkah terakhir dalam pendekatan Saylor adalah evaluasi, yang bertujuan memastikan bahwa kompetensi lulusan telah tercapai. Evaluasi dilakukan secara berkelanjutan selama proses pembelajaran, sehingga pendidik dapat memantau perkembangan peserta didik secara menyeluruh. Penilaian kompetensi dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti tes kognitif untuk mengukur pengetahuan, observasi sikap untuk menilai perkembangan afektif, dan praktik langsung untuk mengevaluasi keterampilan psikomotorik. Dalam konteks pendidikan kejuruan, misalnya, evaluasi bisa berupa simulasi atau pengujian tugas yang relevan dengan dunia kerja. Sedangkan dalam pendidikan berbasis karakter, penilaian dapat dilakukan melalui pengamatan perilaku siswa dalam kegiatan sehari-hari.
Kesimpulannya, Kompetensi lulusan menurut teori Saylor mencerminkan hasil akhir pendidikan yang dirancang secara sistematis dan terintegrasi. Dengan menggabungkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, pendekatan ini memastikan lulusan tidak hanya siap menghadapi tantangan global, tetapi juga memiliki nilai moral yang kokoh. Untuk mencapai hal ini, kurikulum harus fleksibel, responsif terhadap perubahan, dan dilengkapi dengan evaluasi yang terus-menerus agar sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan masyarakat.
*) Tulisan ini disarikan dari Bahan Ajar Mata Kuliah Sekolah Islam Terpadu. Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Ahmad Rusdiana, Drs., MM
Syah Zehan ZN. Lahir di Tanagerang, pada tanggal 15 Januari 2003, merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Atang Sutardi dan Ibu Aan Amanah. Alamat tinggal saat ini di Jl. Persada I No.8, Cipadung Kidul, Kec. Panyileukan, Kota Bandung, Jawa Barat 40614. No. HP: 087883172356 Email: syahzeh15@gmail.com Pendidikan: MIN 4 Jakarta Selatan lulus tahun 2015, SMP IT Daarul Rahman lulus tahun 2018, SMA IT Daarul Rahman lulus tahun 2021 dan sekarang Kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Manajemen Pendidikan Islam. Kurikulum Merdeka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H