25/7/2007 03:00
Di Toko Souvenir no.64 Jl. Serikat
Ketika semua sudah selesai dan segalanya sudah kembali seperti semula, tak ada yang lebih nikmat selain segelas teh dan sekaleng biskuit untuk menghilangkan kelelahan setelah menangani sebuah kasus. Namun misteri tentang keberadaan rumah sakit itu masih menjadi misteri dan alasan kenapa rumah sakit itu ditutup juga masih belum diketahui.
Pagi itu setelah sampai kembali ke Toko, Arya mengajak Soca untuk berbincang terlebih dahulu, "Soca, sekarang kau tidurlah, ada hal yang ingin kubicarakan nanti." Ucap Arya kepada Soca. Soca yang menanggapi ucapan Arya dan segera berbalik badan, "Hal apa? Kenapa kau tidak bicarakan sekarang saja? Aku tidak suka dibuat penasaran."
Arya sedikit terkejut dengan ucapan Soca barusan, "Ada satu hal yang ingin kubicarakan, dan mungkin hal ini sedikit berat dan agak serius, jadi aku ingin kau istirahat dulu sebentar." Ucap Arya sambil sedikit tersenyum dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Soca mengangkat sebelah alisnya, "Aku tidak mengerti, kalau ada hal penting bicarakanlah sekarang, aku tidak mau kau terlambat menyampaikan hal penting."
"Huh? Yaa oke baiklah, tapi sebelumnya aku ingin mengantarkan Grise kedalam kamarnya. Kau duduklah terlebih dahulu." Ucap Arya sembari berjalan meninggalkan Soca di ruang tengah. Soca menjatuhkan tubuhnya yang lemas pada sofa yang empuk, membaringkan tubuhnya yang masih dibalut perban karena perkelahian tadi. Sebentar Soca melamun, dalam lamunannya terbesit tentang gadis itu, Grise Anastasia, seorang gadis polos yang memiliki kekuatan Mata Takdir.
Lamunan Soca berakhir ketika ia melihat Arya berjalan menuju kursi diseberangnya, wajah Arya terlihat serius berbeda dari yang sebelumnya dan sepertinya ini adalah hal yang benar benar serius dan penting. Soca segera bangkit dari posisi tidurnya dan segera duduk dengan keadaan tegak. "Baiklah Soca, aku akan memberitahu sesuatu, ini tentang Grise dan Mata Takdir." Ucap Arya dengan nada yang rendah.
Soca menyipitkan matanya dan menyimak dengan baik. "Gadis itu, kita harus memberikan gadis itu kepada Asosiasi Penyihir," Soca yang mendengar itu terbelalak. "Asosiasi Penyihir? Bukankah kau sudah tidak bergabung dengan perkumpulan itu? Lalu kenapa kita harus memberikan gadis itu kesana?" Tanya Soca dengan nada yang sedikit tinggi. Â
"Karena yang memberikan tugas ini adalah Asosiasi Penyihir dan maafkan aku karena tidak memberi tahu mu sebelumnya. Sebenarnya waktu aku bilang bahwa aku ingin bermeditasi waktu itu, sebenarnya aku sedang melakukan laporan pada Asosiasi Penyihir dan mereka mengajakku untuk bergabung kembali." Ucap Arya dengan tegar.
"Agh sial. Lalu, apa kau menyetujui ajakan itu?" Tanya Soca menahan amarahnya. "Tentu saja tidak, aku tidak akan pernah lagi pergi kesana," Jawab Arya, "Namun Soca, kita masih memiliki satu lagi pilihan, namun aku tidak yakin kamu akan melakukannya." Ucap Arya samar samar.
"Pilihan?" Tanya Soca.
"Kita harus membunuhnya." Ucap Arya memecah sepi.
"Membunuhnya? Apa kau gila? Setelah kita bersusah payah menyelamatkannya dari Hendrik dan sekarang kita harus membunuhnya? Sial kau Arya."
"Aku tahu ini sulit untuk dilakukan Soca, tapi tidak ada pilihan lain."
"Cih." Dengan kesal Soca pergi meninggalkan ruang tengah dan membiarkan Arya dalam penyesalan. Soca berjalan menuju ke ruangan Grise dan berniat menemuinya untuk memberitahu satu hal. Namun baru sampai depan pintu, Soca mematung, ia memang orang yang cuek dan tidak peduli akan sekitarnya, tapi ia tidak bisa membunuh seorang gadis malang yang tertimpa kutukan.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku, aku tidak bisa membunuhnya." Gumam Soca sembari memegang gagang pintu dan membuka pintunya. "Hei Grise aku ingin berbicara sesuatu padamu-" Kata kata Soca berhenti ketika melihat seorang gadis dengan mata yang begitu indah duduk menghadap cermin didepannya. Soca terkejut bukan main, keindahan yang selama ini tersembunyi dibalik perban.
"Tuan Soca, tolong jangan terlalu lama memperhatikan mataku, aku takut nanti kau akan tertular oleh keburukanku." Ucap Grise sembari menyembunyikan wajahnya dari pandang Soca. Dengan cepat Soca melupakan kejadian barusan dan segera mengutarakan niatnya, "Kau, apakah kau punya waktu kosong besok? Aku ingin mengajakmu kesuatu tempat, apa kau bisa ikut?" Tanya Soca.
Ucapan Soca membuat Grise terbelalak, "Kalau tidak mau juga tidak apa-apa, aku tidak memaksa." Ucap Soca sembari berjalan mendekati kursi. Grise masih terbelalak setelah mendengar kata kata Soca barusan, perlahan air mata keluar dari matanya yang indah. "Kau kenapa menangis? Apa aku mengucapkan hal yang salah?" Tanya Soca bingung. Grise hanya menggeleng, "Aku...aku sangat senang, ini adalah tangis bahagia, aku...aku akan ikut!" Ucap Grise dengan air mata yang masih menetes deras dari matanya.
Senyum kecil terukir pada wajah Soca, ia tak pernah membayangkan ini semua, entah kenapa ia tak pernah bisa tidak peduli dengan gadis didepannya ini. "Baiklah sekarang kau tidur dulu, aku tahu kau masih lelah sekali." Ucap Soca sembari berdiri dan menuntun Grise menuju tempat tidurnya.
"Tuan Soca, aku tahu kau adalah orang baik."
"Aku harap yang kau katakan itu benar," Soca menarik selimut untuk menutupi tubuh Grise. "Selamat Tidur." Ucap Soca sembari mencium kening Grise. Sungguh bukan sesuatu yang dapat diperkirakan, dan itu berhasil membuat wajah Grise memerah dan ia berusaha menutupi wajahnhya dengan selimut.
Dengan meninggalkan senyum kecil, Soca berjalan keluar kamar dan menutup pintu kamar. "Jadi apa kau sudah memikirkannya?" Tanya Arya yang sedari tadi berdiri disamping pintu. "Ya, aku sudah memikirkan semuanya, kau hanya tinggal diam dan memperhatikan," Ucap Soca sembari melihat kearah mata Arya, "Kau memang misterius, Arya. Aku bahkan tidak bisa mempercayaimu sepenuhnya." Ucap Soca lalu pergi menuju kamarnya untuk tidur.
***
26/7/2007 08:00
Di Toko Souvenir no.64 Jl. Serikat
"Ayo Grise cepatlah masuk kedalam mobil!" Suruh Soca.
"Iya Tuan Soca aku akan segera sampai," Grise keluar dengan balutan dress warna putih yang terlihat cantik pada dirinya. "Bagaimana penampilan ku Tuan Soca?"
"Hmm itu terlihat cantik, ayolah cepat!" Puji Soca.
***
26/7/2007 10:00
Taman Hiburan
Hari ini Soca berniat mengajak Grise untuk bermain ke taman hiburan dan berniat untuk pergi belanja. Mereka menghabiskan waktu yang ada untuk bersenang-senang, Soca tak pernah sesenang ini dalam hidupnya apalagi setelah kematian Ibunya yang begitu misterius. Grise juga terlihat sangat senang, Soca tak pernah melihat Grise sesenang ini seperti sebelum sebelumnya.
Ditaman hiburan mereka banyak menaiki berbagai wahana dan sepertinya Soca ketakutan saat menaiki kereta luncur. Mereka juga membeli banyak jajanan dan aksesoris. Hari itu menjadi hari paling bahagia dalam hidup Grise, setidaknya untuk yang terakhir kali.
***
26/7/2007 18:00
Hari berjalan begitu cepat, fajar perlahan kembali dalam tidurnya. Di sebuah lapangan yang luas berdiri dua orang insan. Mereka berdua yang telah menjalani hidup penuh lika liku, menjalani hari yang melelahkan bersama belakangan ini. Hubungan yang baru terjalin memang sulit untuk dipercaya. Namun hubungan itu tak akan pernah bertahan lama.
"Tuan Soca, hari ini menyenangkan sekali ya." Ucap Grise sambil melompat senang. Soca hanya diam karena ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Tuan Soca, aku ingin sekali selalu bersama mu, entah mengapa aku merasa nyaman didekatmu walaupun awalnya aku merasa tertekan didekatmu, perlahan aku merasakannya. Dari awal kau memang seorang yang baik hati. Aku...menyadari itu.
"Tuan Soca aku harap---"
"Maaf Grise."
"Tuan Soca?"
"Maafkan aku untuk apa yang aku lakukan."
Soca mengeluarkan pistol dari kantung yang ada didalam jaketnya dan menodongkannya pada Grise. "Maafkan aku untuk apa yang akan aku lakukan. Tapi, kau tidak perlu memaksakan diri."
Air mata kembali menetes dari mata indah Grise, ia akhirnya tahu bahwa yang dibicarakan oleh Soca dan Arya itu adalah benar. Ia tidak seharusnya ada dan juga ia adalah sesuatu yang menyimpang yang harus dihilangkan.
"Tidak apa apa Tuan Soca. Aku tahu aku adalah sesuatu yang menyimpang. Aku...Aku memang seharusnya tidak ada sejak awal. Dan seharusnya Tuan membunuhku sejak pertama kali bertemu. Terima kasih telah memberikan kebahagiaan diakhir hidupku."
"Maaf."
Dalam hening dan hembusan angin yang mengiringi malam, Soca menarik pelatuk pistolnya untuk mengakhiri semua ini.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H