Mohon tunggu...
syah rustan
syah rustan Mohon Tunggu... -

nama: syahrustan, ttl. cirebon 5 agustus 1992

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esensi Manusia Menurut Perspektif Al-Ghazali

15 Desember 2015   05:43 Diperbarui: 15 Desember 2015   09:45 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Allah menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai mahluk yang memiliki kedudukan yang terbaik dibanding mahluk lainnya. al-Ghazali memberikan pandangan atau pengertian tentang esensi manusia, beliau mengatakan bahwa manusia merupakan mahluk hidup yang tersusun dari empat dimensi yang dalam kerja atau fungsinya atau fungsi saling berkesinambungan satu sama lainnya. keempat dimensi tersebut adalah hati, ruh, nafsu, dan akal. Ada banyak ungkapan atau kalam Allah yang menjelaskan tentang kesempurnaan manusia, diantaranya sebagai mahluk yang diciptakan terbaik dari lainnya (akhsani taqwim) atau sebagai insan kamil, dan nama-nama lainnya.

Perlu kita ketahui bahwa keempat dimensi tersebut menurut pandangan Al-Ghazali memiliki ciri dan fungsi yang berbeda dan khusus. Hati dalam pandangan Al-Ghazali sebagai jantung yakni organ tubuh yang menjadi pusat denyut nadi, yang terletak dibagian dada sebelah kiri berbentuk segumpal daging yang memiliki fungsi mengatur peredaran darah, mengatur kadar gula dan lemak, dan terdapat saraf sebagai kekuatan ruh. Sehingga dalam pandangan perspektif Islam daging tersebut sebagai hati, yang apabila hati tersebut baik, maka akan baik pula seluruh jasadnya, akan tetapi jika hati itu buruk maka buruk pula jasadnya. Kemudian fungsi utama hati secara medis sebagai pengatur peredaran darah di dalam tubuh manusia. Unsur kedua dimensi manusia adalah ruh. Ruh merupakan zat yang halus yang berasal dari rongga-rongga badan atau saraf yang berasal dari hati (jasmani), atupun ruh bisa diartikan sebagai kekuatan hidup yang ditiupkan oleh Allah kepada hambanya melalui malaikat sebagai fitrah yang menjadi potensi dalam setiap insan. Ruh sebagai kekuatan hidup yang tidak hanya dimiliki oleh manusia, akan tetapi ruh juga dimiliki oleh jenis khayawan lainnya, termasuk tumbuhan. Namun kekuatan hidup yang dimiliki manusia, hewan dan tumbuhan memiliki kekuatan dan esesnsi yang berbeda-beda.

Kemudian dimensi manusia yang ketiga adalah nafsu, nafsu merupakan daya keinginan atau dorongan yang diaktualisasikan melalui perilaku atau perbuatan. Nafsu memiliki kesamaan dengan instink yakni, sebagai dimensi yang sama-sama memiliki potensi atau sebagai energi kekuatan yang terdapat pada setiap mahluk hidup, yang berfungsi sebagai penjaga atau pelindung diri, mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya, dan sebagai pendorong dalam bertindak. Dan dimensi terakhir adalah akal, dala perspektif al-Ghaali dimensi akal merupakan dimensi yang paling penting dari dimensi-dimensi lainnya. Akal dianggap sebagai dimensi kejiwaan dalam manusia yang paling mendasar dan sangat rumit, akal sebagai dimensi yang mampu mengartikan hakikat segal hal, tempat mengelolah ilmu pengetahuan, yang hasilnya tersimpan dalam hati seseorang. Mengapa sedemikian pokoknya akal dalam kehidupan? Karena akal merupakan daya utama dalam fungsi dan kerjanya bisa menembus dan membuka alam yang bersiafat abstrak (ghaib) untuk pengenalan dengan Tuhan sekalipun. Namun terkadang akal bisa terkena arus atau kekuatan negatif yang bisa menimbulkan munculnya kekuatan syahwat dan ghodob atau angkara murka, memiliki emosi dan ambisi negatif untuk mencapai tujuan. Dalam perspektif kajian asawuf akal memiliki beberapa potensi yang sangat penting, yakni akal sebagai:

  1. potensi kejiwaan yang mampu membedakan antara hewan dan manusia.
  2. Akal sebagai potensi dasar pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
  3. Akal sebagai rangkaian ilmu yang diperoleh dari berbagai pengalaman hidup.
  4. Akal sebagai alat atau ukuran yang bisa mengukur dan menimbang suatu perbuatan.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa kedudukan akal dalam pandangan agama sebagai hal yang memiliki kaitan yang bersifat komplementer, seperti halnya antara mata dan cahaya, karena mata tidak mungkin dapat melihat bila tanpa ada cahaya, begitupun akal akan mendapatkan hidayah kecuali dengan syara’. Pola ini memiliki kesimpulan bahwa akal pasti membutuhkan syara’ dan syara’ membutuhkan akal. Dari uraian diatas tentang dimensi-dimensi yang ada dalam diri manusia, bisa disimpulkan, bahwa manusia akan menjadi insan kamil, jika dimensi-dimensi yang ada pada diri manusia tersebut benar-benar dikerjakan dengan lurus dan seimbang.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun