Pengertian tentang Gharar
Gharar adalah ketidakpastian dalam transaksi yang diakibatkan dari tidak terpenuhinya ketentuan syariah dalam transaksi tersebut. Dampak dari transaksi yang mengandung gharar adalah adanya pendzaliman atas salah satu pihak yang bertransaksi sehingga hal ini dilarang dalam islam.
Secara operasional, gharar bisa diartikan sebagai kedua belah pihak dalam transaksi tidak memiliki kepastian terhadap barang yang menjadi objek transaksi baik terkait kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang, sehinga pihak kedua dirugikan.
Gharar ini terjadi bila mengubah sesuatu yang pasti menjadi tidak pasti. Di antara contoh praktik gharar adalah sebagai berikut:
- Gharar dalam kualitas, seperti penjual yang menjual anak sapi yang masih dalam kandungan.
- Gharar dalam kuantitas, seperti penjualan pertanian yang masih dalam keadaan hijau atau belum dipanen.
- Gharar dalam harga (gabn), seperti murabahah rumah 1 tahun dengan margin 20% atau murabahah rumah 2 tahun dengan margin 40%.
- Gharar dalam waktu penyerahan, seperti menjual barang yang hilang.
Gharar hukumnya dilarang dalam syariat islam, oleh karena itu melakukan transaki atau memberikan syarat dalam akad yang ada unsur ghararnya itu hukumnya tidak boleh, sebagaimana hadist Rasulullah SAW yang artinya:
“Rasulullah melarang jual beli Al-Hashah dan beli gharar.” (HR. Muslim).
Larangan gharar memiliki tujuan (maqshad) sebagaimana dijelaskan dalam substansi gharar di atas, bahwa keempat transaksi dalam contoh di atas itu termasuk gharar, karena objek akadnya tidak pasti ada dan tidak pasti diterima pembeli atau harga dan uang tidak pasti diterima penjual sehingga tujuan pelaku akad melakukan transaksi menjadi tidak tercapai.
padahal pembeli bertransaksi untuk mendapatkan barang yang tanpa cacat dan sesuai keinginan, begitu pula penjual bertransaksi untuk mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, kondisi ini merugikan salah satu atau seluruh pelaku akad dan sangat mungkin menimbulkan perselisihan dan permusuhan.
Sesungguhnya, setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antar kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi karena ada suatu yang unknown to one party.
Dalam keempat bentuk gharar di atas, keadaan sama-sama rela yang dicapai bersifat sementara, yaitu sementara keadaannya masih tidak jelas bagi kedua belah pihak. Di kemudian hari, yaitu ketika keadaannya telah jelas, salah satu pihak (penjual/pembeli) akan merasa terzalimi, walaupun pada awalnya tidak demikian.
Dampak yang akan di alami ketika menerapkan sistem gharar
Dampaknya, ketika ada salah satu pihak yang merasa dirugikan atau dicurangi maka volume perdagangan akan menyusut. Pelanggan yang tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik akan mengurangi volume transaksi pada jumlah kebutuhan minimal. Pada saat mereka memiliki pilihan lain, yang kadang belum tentu baik, mereka akan pindah. Bagi mereka lebih baik meninggalkan yang sudah jelas tidak memberikan rasa keadilan, dan mencoba peruntungannya pada pilihan yang baru.
Ketika para sahabat Rasulullah SAW di Madinah menyampaikan keluh kesah karena keuntungan mereka tidak sebesar keuntungan pedagang Yahudi yang menjual dengan mengurangi berat timbangan, Rasulullah SAW malah menasehati para sahabat untuk menambahkan berat timbangan. Maka tampaklah beda yang nyata di antara timbangan para pedagang itu. Para pembeli tentu saja memilih pedagang yang timbangannya lebih berat.
Membalas keburukan dengan kebaikan malah menegaskan perbedaan kesepakatan rasa keadilan. Dominasi pedagang Yahudi di Madinah dapat dipatahkan dalam tempo dua tahun. Kesepakatan pasar tanpa adanya kesepakatan rasa keadilan bagaikan telur diujung tanduk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H