Sebuah Tamparan
      Ini bukan tentang Maling Kundang dalam cerita rakyat Minangkabau, yang secara terang-benderang mengingkari ibunya. Ini tentang pertandingan liga champion eropa yang mempertemukan FC Barcelona dengan FC Bayern Munich tadi pagi. Selain hasil yang cukup memalukan (skor akhir 2:8 untuk kemenangan FC Bayern Munich), pada angle lain Estadio da Luz Lisbon menghamparkan pemandangan haru. Yah, di tengah pesta Die Roten ada wajah Thiago Alcantara dan Philippe Coutinho. Berkali-kali kamera men-zoom in wajah keduanya, ekspresi yang datar dan menunjukkan permohonan maaf kepada pendukung FC Barcelona, terutama setelah Coutinho mencetak dua gol ke gawang Terstegen.
      Thiago Alcantara dan Philippe Coutinho bertemu di negeri Bavaria dengan cerita berbeda. Keberadaaan Thiago Alcantara di kota Munich karena mengikuti mentornya, Pep Guardiola. Kepergiannya juga tak sedikit yang mempertanyakan, karena Barca mestinya menyiapkan calon pengganti untuk Xavi dan Iniesta di lini tengah, dan Thiago adalah suksesor potensial karena lebih memahami filosofi permainan Barca. Tetapi kisah kepergian Coutinho dari Camp Nou terkesan menyakitkan. Sang bintang Brazil (sering dianggap Messi versi kanan) dipinjamkan karena dianggap gagal memenuhi harapan, terutama ketika disingkirkan Liverpool di semi final UCL musim lalu. Harapan yang tak terkabul untuk membawa kembali Si Kuping Besar ke Camp Nou pada musim 2019 memakan korban, Coutinho.
      Kejadian di perempat final UCL tadi pagi seakan menunjukkan bahwa keputusan manajemen Barca meminjamkan Coutinho dan tidak mempertahankan Alcantara adalah kekeliruan. Sejak mendarat di Bavaria, Alcantara berevolusi menjadi salah satu pemain tengah terbaik dunia, dibuktikan dengan stabilitas irama permainan dan tentu saja berbagai gelar di akhir musim. Demikian pula Coutinho, memegang nomor punggung 10 yang secara perlahan beradaptasi dan menjadi pembeda dalam pertandingan-pertandingan krusial Die Roten.
      Di sisi lain, di tanah Catalan, tanah yang ditinggalkan kedua pemain, FC Barcelona dirundung persoalan manajemen yang tak kunjung teratasi. Melepas Coutinho tidak ditutupi dengan mendatangkan pemain yang lebih kualified dengan iklim dan tradisi mereka. Mesin Gol masih sangat bergantung pada Messi dan Suarez, sementara pemain anyar yang didatangkan seperti Griezman belum menunjukkan performa signifikan. Memecat Ernesto Valverde juga tidak diikuti dengan mendatangkan pelatih yang dapat memberi pengaruh kuat bagi pemain-pemain besar di ruang ganti Barca. Manajemen yang buruk bertemu dengan momen pembuktian anak-anak buangan, hasilnya menyakitkan dan memalukan.
      Jangan tanyakan cinta kepada Thiago Alcantara, karena ia besar dalam akademi La Masia, almamater yang mengajari segala hal tentang si kulit bundar. Pun dengan Philippe Coutinho yang menyambut hari bahagia ketika diboyong dari Mercyside, tanah Britania. Meninggalkan Liverpool untuk menjemput mimpi di Barcelona sebagaimana para pendahulunya 4R: Romario, Rivaldo, Ronaldo, dan Ronaldinho. Hasrat menggebu untuk meraih gelar secara instan dari manajemen Blaugrana telah membuat layu sang pemuda samba, terpinggirkan di camp nou. Tak ada kesempatan untuk melakukan adaptasi, proses diabaikan, hasil menjadi tuntutan. Dalam konteks ini, Azulgrana telah meninggalkan spirit pendidikan La Masia yang mengutamakan proses, kesabaran, dan ketekunan.
      Kondisi ini juga menunjukkan orientasi baru dalam manajemen Barca yang lebih condong pada sepakbola sebagai industri dan bisnis, bukan lagi tentang olahraga dan seni. Hasilnya tak seindah mimpi para petinggi club, jor-joran belanja pemain pada jendela transfer tidak membawa profit, bahkan menuai kerugian. Mereka lupa bahwa kekayaan finansial Barca diperoleh dari menjual kualitas dan prestasi.
Cerita Dunia tentang Anak Buangan    Â
      Legenda suci mahabharata memiliki episode tentang anak buangan bernama Karna. Sejatinya ia adalah anak seoang perawan suci bernama Kunti, yang kelahirannya tidak pada waktu yang tepat. Kunti sendiri harus merasakan penderitaan akibat mencoba mengamalkan anugerah dewata agung, dengan membuang sang anak ke sungai. Takdir mempertemukan anak Kunti dengan seorang sais kereta di kerajaan Hastinapura, yang kemudian menganggapnya sebagai anak dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Sebagai anugerah dewata, Karna tumbuh dengan bakat besar dalam keterampilan perang, terutama seni memanah. Kemampuan inilah yang mengantarkannya ke pergaulan istana Hastinapura, bahkan dianugerahi tanah perdikan di negeri Awangga (Anga) atas jasa-jasanya. Kepahlawanan Karna mencapai puncak ujian di Kurusetra ketika harus berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri, membela kurawa yang telah memberi kewibawaan. Perannya di Kurusetra sangat besar, terutama setelah Bhisma tak berdaya. Karna menjadi teror yang menakutkan pandawa, memprorak-porandakan strategi perang pandawa yang dikawal Arjuna. Tanpa campur tangan Krishna, perang mahabharata mungkin berakhir lain. Terlepas dari persoalan moral, posisi Karna di atas adalah produk dari perlakuan lingkungan terhadapnya, sehingga harus dibayar dengan kesetiaan dan pengorbanan.
      Kisah lain tentang anak buangan datang dari Bani Israel, Musa namanya. Ia yang dalam beberapa agama semitik disebut sebagai Nabi, pembawa pesan tuhan. Pembuangan Musa dengan cara dihanyutkan ke sungai oleh ibunya disebabkan oleh kelaliman penguasa Mesir saat itu, yang menginginkan kekuasaan abadi. Tak boleh ada saingan, diperkuat ramalan tentang datangnya seorang lelaki yang akan meruntuhkan singgasananya, maka Fir'aun memerintahkan pembinasaan semua anak lelaki yang lahir. Energi tuhan di dalam diri Musa membuatnya selamat, bertahan, dan tumbuh menjadi pemuda. Dialah yang menegasikan kekuasaan absolut, memalingkan wajah para pemuja manusia menuju keimanan kepada tuhan yang esa. Bangsa Israel saat ini berhutang budi kepada Musa, karena dialah yang membebaskan mereka dari perbudakan di tanah Mesir. Tak mungkin ada Daud (David), Sulaiman (King Salomon) hingga Isa dalam sejarah, jika Musa dan Harun tidak mengeluarkan Bani Israel dari Mesir.
Menjaga Tradisi