Mohon tunggu...
syahrul marham
syahrul marham Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Kuliah S1 di STAIN Kendari (2003), S2 di Universitas Negeri Jakarta (2007), saat ini menjadi Dosen di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Kendari

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memadu Agama dan Ilmu

6 Agustus 2020   18:37 Diperbarui: 6 Agustus 2020   18:31 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Agama VS Ilmu dalam  Sejarah

Salah satu cerita menarik dalam sejarah manusia adalah pergulatan antara ilmu dengan agama. Mencapai puncaknya pada abad pertengahan di Eropa, yang sering disebut sebagai abad kegelapan. Disebut demikian karena kegiatan nalar dan ilmu pengetahuan dikekang oleh doktrin keagamaan yang disokong oleh kekuasaan (baca: kerajaan). 

Kendati demikian, Copernicus dan Gelileo Galilei berdiri kokoh pada pandangan bahwa semesta ini mesti dipecahkan hukum-hukumnya melalui metode dan prosedur keilmuan, bukan pada doktrin keagamaan yang menolak logika. Galileo pada akhirnya harus menerima hukuman mati karena mempertahankan prinsip tersebut.

Kebenaran ilmiah yang bersifat objektif tersebut terus menemukan bentuknya pada sebuah momentum yang disebut renaissance dimana doktrin para agamawan tidak dapat bertahan dari kritik-kritik keilmuan. Zaman ini menandai kebangkitan ilmu pengetahuan sekaligus perlawanan terhadap agama yang dianggap menghalangi perkembangan dan mengekang kemajuan. 

Dari sinilah benih-benih sekularisme dimulai, bahwa kemajuan umat manusia dapat diraih dengan meletakkan agama pada urusan rohani dan ilmu pada domain duniawi. Inilah titik ekstrim dari perang ilmu terhadap agama.

Kejayaan ilmu pengetahuan terus berlangsung melalui temuan-temuannya yang berimplikasi pada lompatan-lompatan dalam kehidupan umat manusia, seperti ditemukannya mesin uap yang mengilhami revolusi industri[1], ditemukannya mesin cetak huruf (tik) yang merevolusi kebiasaan manual manusia dalam pekerjaan kantor maupun penyusunan literature[2].

Kemajuan-kemajuan yang dicapai umat manusia melalui ilmu pengetahuan membentuk persepsi bahwa ilmu pengetahuan merupakan kunci utama (dan satu-satunya) dalam memecahkan problem-problem kemanusiaan, tidak hanya pada aspek fisik tetapi juga pada aspek psikis. Persepsi yang monolitik ini melahirkan "mitos sains", dimana kebenaran yang sungguh-sungguh hanyalah sains dan tidak ada selainnya.

Domain Ilmu dan Agama

Pada pertengahan abad XX, tampaknya para ilmuwan mulai mempertanyakan kembali raihan-raihan yang dicapai oleh sains abad pertengahan. Refleksi mereka melahirkan gugatan-gugatan mendasar tentang hakekat semesta, bahwa tidak ada yang tunggal dan pasti dalam pemahaman terhadap semesta. Pemahaman bersifat jamak dan juga subjektif.

Di sisi lain, fenomena-fenomena social yang muncul yang tidak dapat dijawab oleh sains seperti kesenjangan sosial, diskriminasi, bagaimana mencapai ketenangan batin membuat kita berpikir kembali bahwa ada sesuatu yang salah (something wrong). Sains yang digadang-gadang sebagai pengurai masalah-masalah kemanusiaan ternyata mengidap masalah pada dirinya sendiri. Mulailah manusia kembali melirik agama maupun bentuk religiusitas lain yang bersifat agama non formal.

 Agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat mutlak, menjadi penuntun dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan setelah dunia (Islam menyebutnya akhirat). Adapula yang memahami agama sebagai medium mencapai ketenangan batin. Secara sosiologis, terhadap fenomena kembalinya kesadaran beragama masyarakat dapat dibagi menjadi dua: beragama dan menolak sains (pesmistik)[3] dan beragama sekaligus menerima sains (optimistik).   

Sinergi Ilmu dan Agama

Sejarah gelap abad pertengahan di Eropa tentang perang Ilmu dengan Agama tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menggeneralisir bahwa semua agama memusuhi Ilmu (science)[4]. Islam misalnya, ajaran pertama yang diterima oleh Muhammad SAW adalah "membaca"[5] dengan segala dimensinya, maupun tingginya derajat orang-orang berilmu yang setara dengan orang-orang yang beriman. Maupun hadits Nabi SAW yang mewajibkan menuntut ilmu bagi setiap pemeluknya, dan walaupun kenegeri China.

Sejatinya, tidak perlu ada dikotomi antara ilmu dan agama. Karena agama sebenarnya mengandung isyarat-isyarat ilmiah. Agama memang mengajarkan tentang jalan lurus menuju kebenaran, tetapi manusia yang anugerahi potensi nalar, hati, dan nafsu diharuskan kritis melakukan verifikasi sehingga kebenaran yang diperoleh berbasis pada kesadaran kritis (baca: ilmiah).

Sebagai makhluk beragama, kita menyadari bahwa agama itu berasal dari Tuhan untuk mengatur perilaku manusia. Ilmu Pengetahuan pun demikian, merupakan hukum-hukum keteraturan Tuhan yang berlaku pada semesta yang secara evolusioner dipecahkan oleh manusia. Manusia membutuhkan agama sebagai landasan perilakunya (akhlaq) terhadap semesta, sekaligus membutuhkan ilmu (sains) yang membuatnya mampu memahami semesta sehingga dapat memperlakukannya dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun