Agama VS Ilmu dalam  Sejarah
Salah satu cerita menarik dalam sejarah manusia adalah pergulatan antara ilmu dengan agama. Mencapai puncaknya pada abad pertengahan di Eropa, yang sering disebut sebagai abad kegelapan. Disebut demikian karena kegiatan nalar dan ilmu pengetahuan dikekang oleh doktrin keagamaan yang disokong oleh kekuasaan (baca: kerajaan).Â
Kendati demikian, Copernicus dan Gelileo Galilei berdiri kokoh pada pandangan bahwa semesta ini mesti dipecahkan hukum-hukumnya melalui metode dan prosedur keilmuan, bukan pada doktrin keagamaan yang menolak logika. Galileo pada akhirnya harus menerima hukuman mati karena mempertahankan prinsip tersebut.
Kebenaran ilmiah yang bersifat objektif tersebut terus menemukan bentuknya pada sebuah momentum yang disebut renaissance dimana doktrin para agamawan tidak dapat bertahan dari kritik-kritik keilmuan. Zaman ini menandai kebangkitan ilmu pengetahuan sekaligus perlawanan terhadap agama yang dianggap menghalangi perkembangan dan mengekang kemajuan.Â
Dari sinilah benih-benih sekularisme dimulai, bahwa kemajuan umat manusia dapat diraih dengan meletakkan agama pada urusan rohani dan ilmu pada domain duniawi. Inilah titik ekstrim dari perang ilmu terhadap agama.
Kejayaan ilmu pengetahuan terus berlangsung melalui temuan-temuannya yang berimplikasi pada lompatan-lompatan dalam kehidupan umat manusia, seperti ditemukannya mesin uap yang mengilhami revolusi industri[1], ditemukannya mesin cetak huruf (tik) yang merevolusi kebiasaan manual manusia dalam pekerjaan kantor maupun penyusunan literature[2].
Kemajuan-kemajuan yang dicapai umat manusia melalui ilmu pengetahuan membentuk persepsi bahwa ilmu pengetahuan merupakan kunci utama (dan satu-satunya) dalam memecahkan problem-problem kemanusiaan, tidak hanya pada aspek fisik tetapi juga pada aspek psikis. Persepsi yang monolitik ini melahirkan "mitos sains", dimana kebenaran yang sungguh-sungguh hanyalah sains dan tidak ada selainnya.
Domain Ilmu dan Agama
Pada pertengahan abad XX, tampaknya para ilmuwan mulai mempertanyakan kembali raihan-raihan yang dicapai oleh sains abad pertengahan. Refleksi mereka melahirkan gugatan-gugatan mendasar tentang hakekat semesta, bahwa tidak ada yang tunggal dan pasti dalam pemahaman terhadap semesta. Pemahaman bersifat jamak dan juga subjektif.
Di sisi lain, fenomena-fenomena social yang muncul yang tidak dapat dijawab oleh sains seperti kesenjangan sosial, diskriminasi, bagaimana mencapai ketenangan batin membuat kita berpikir kembali bahwa ada sesuatu yang salah (something wrong). Sains yang digadang-gadang sebagai pengurai masalah-masalah kemanusiaan ternyata mengidap masalah pada dirinya sendiri. Mulailah manusia kembali melirik agama maupun bentuk religiusitas lain yang bersifat agama non formal.
 Agama merupakan ajaran Tuhan yang bersifat mutlak, menjadi penuntun dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan setelah dunia (Islam menyebutnya akhirat). Adapula yang memahami agama sebagai medium mencapai ketenangan batin. Secara sosiologis, terhadap fenomena kembalinya kesadaran beragama masyarakat dapat dibagi menjadi dua: beragama dan menolak sains (pesmistik)[3] dan beragama sekaligus menerima sains (optimistik).  Â