Mohon tunggu...
syahrul marham
syahrul marham Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Kuliah S1 di STAIN Kendari (2003), S2 di Universitas Negeri Jakarta (2007), saat ini menjadi Dosen di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Kendari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengenalan Akademik dan Spirit Athena (Catatan Seorang Pemantau)

14 Agustus 2018   11:54 Diperbarui: 14 Agustus 2018   12:45 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perguruan tinggi akan selalu merindukan sosok Plato, seorang Filsuf besar Yunani, penyemai peradaban helenis, dan lebih agung adalah warisan akademia. Di tengah kondisi masyarakat Yunani yang terbelakang, forum akademia Plato menjadi oase bagi pengelana pun perindu ranah-ranah intelektualitas dan keilmuan.

Berbagai gagasan dibawa ke forum akademia untuk didiskusikan demi kemaslahatan sosial, sebagaimana tercermin dalam salah satu magnum opus Plato, Republik.

Benih akademia inilah yang menjadi pelita negeri para Dewa, disegani oleh negeri-negeri lainnya. Jauh dari spirit masa lalu bangsa Yunani yang hanya mendorong pembangunan raga, penguatan militer, penumpukan kekuasaan, juga pelapisan sosial. Sepertinya kehadiran forum akademia di Athena adalah anugrah langit untuk kepentingan kemanusiaan.

Kemajuan keadaban yang dicapai orang Yunani akibat suntikan energi akademia, mengantarkan mereka pada sebuah level peradaban masyarakat yang cukup tinggi. Sebuah negeri cita, dimana masyarakat hidup dalam suasana adil, makmur, bebas tetapi juga menjunjung tinggi moralitas.

Ideal ini sejalan dengan semangat ajaran kemanusiaan dalam agama-agama semitik (terutama Islam) tentang negeri yang dilimpahi keberkahan di bawah naungan Tuhan (baldatun thayyibatun warabbun ghafur).

Akademia sebagai ibu perguruan tinggi sejagat, mengalami masa survival yang tidak mudah. Kondisi mapan masyarakat tidak mudah memberi ruang bagi tumbuhnya gerakan intelektual, apalagi membangun tradisi keilmuan. Bilik-bilik jiwa yang telah tersandera "comfort zone", enggan beranjak menengok semesta yang sangat luas. Mitologi akhirnya menjadi pilihan, dan ini menandai babak kepunahan sebuah peradaban.

Meskipun demikian, sebagai wahana pengejawantah potensi suci kemanusiaan, "akademia-akademia" terus tumbuh mengikuti garis takdirnya. Ribuan tahun setelah kematian Plato dan Aristoteles, hingga hari ini, telah melahirkan jutaan "akademia" di berbagai belahan dunia. Sejarah mencatat bahwa gerakan-gerakan perubahan diberbagai belahan dunia selalu dipelopori oleh kalangan terdidik, dari revolusi juli di Prancis hingga revolusi Islam di Iran.

Secara nasional, pekan-pekan ini, masyarakat kita sedang disuguhi pertunjukkan "anak-anak muda" yang sedang menganyam mimpi menjadi warga ilmiah, layaknya teater akademia Athena. Sanjungan "millenial" disematkan kepada anak-anak ini, yang disejajarkan dengan para pemuda dari Ephesus, para pemuda pilihan yang rela mengorbankan "gemerlap dunia" alay demi cita-cita besar.

Pengenalan budaya akademik (sebuah istilah di PTKIN), adalah sebuah teater dalam semesta budaya perguruan tinggi. Skenario yang diamalkan secara konsisten adalah penanda kekuatan budaya.

Sebagai sebuah ritus tradisi, ia menjadi wahana internalisasi budaya perguruan tinggi. PBAK adalah panggung untuk mengenalkan Grand Culture yang dimiliki perguruan tinggi, yang kemudian terpecah-pecah menjadi sub culture, menampakkan konfigurasi pun mozaik tentang realitas sebuah komunitas ilmiah.

Anomali

Kesejatian dari proses pewarisan tradisi akademik dapat memperoleh gangguan karena beberapa hambatan, misalnya hambatan psikologis, sosiologis, kultural, ideologis, filosoif, bahkan institusional. Hambatan itu tidak hanya mendera "tunas-tunas muda" itu, tetapi juga hinggap pada institusi, dan personal civitas akademika.

Jika PBAK adalah sebuah teater, maka yang diharapkan terjadi adalah terlaksananya berbagai peran yang telah tersusun dalam skenario, dan yang lebih penting lagi adalah tersampaikannya pesan lakon.

Meskipun demikian, sebuah dramaturgi terkadang menyajikan peristiwa yang bervariasi. Bahwa lakon tidak harus sejalan dengan skenario dalam manuskrip (ini mirip opera van java), yang berarti sedang mempertontonkan kekacauan (chaos). Atau membangun harmoni, dengan tetap memperlihatkan kreatifitas dan inovasi.Ini soal pilihan.

IAIN Kendari sebagai kawah Candradimuka

Langit Sulawesi Tenggara telah menjadi saksi tentang kiprah lulusan IAIN Kendari. Mereka mampu menembus berbagai level sosial kemasyarakatan. Menjadi jembatan kelas bawah dengan kelas menengah atas, bahkan menjadi lokomotif kelas menengah baru.

Peran institusi IAIN Kendari tentu sangat besar dalam melahirkan generasi-generasi tersebut. Transformasi kelembagaan diiringi transformasi kebudayaan, secara terus-menerus dilakukan dalam rangka menjaga relevansi lembaga dengan semangat zaman.

Filosofi "mendidik sesuai zaman" sejatinya selalu menjadi identitas lembaga ini, agar secara berkesinambungan melahirkan generasi-generasi yang dapat berperan pada teater yang lebih besar di masyarakat. Seperti kawah Candradimuka, IAIN Kendari sejatinya tidak hanya mencetak satu "Jabang Tetuka" tetapi jutaan Tetuka untuk berbagai persoalan kemanusiaan yang lebih luas dan kompleks.

Wallahu A'lam

SYAHRUL MARHAM

Satuan Pengawas Internal / Pemantau PBAK

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun