Hubungan keduanya lahir dari perbedaan yang saling melengkapi. Lalu, bisakah kita melogikakan perasaan? Ada dua kemungkinan jawaban yang pasti, bisa 'Iya' bisa pula 'Tidak.' Logika memang bisa memahami dan memberi jalan keluar terbaik saat perasaan merasakan hal-hal yang tidak masuk akal (tidak logis).
Namun di sisi lain, tidak semua yang kita rasakan dapat dipikirkan jalan keluarnya oleh logika. Bahkan, jika dipikirkan dengan logika malah memperkeruh keadaan. Perasaan akan lebih mengedepankan simpati batin dan lebih memasrahkan suatu keadaan kepada Yang Maha Kuasa. Itulah mengapa terkadang kita tidak selalu bisa melogikakan perasaan.
Karena simpati batin tersebut, kita terkadang rela terluka demi kebahagiaan orang lain. Intinya bisa atau tidak, itu tergantung diri kita sendiri. Ya meskipun hal itu membuat diri kita atau orang lain terluka, kita harus siap menerima konsekuensi terhadap keputusan yang telah kita buat.Â
Pada akhirnya begitulah hubungan antara logika dan perasaan. Disuatu saat mereka bisa tentram, harmoni, dan saling melengkapi. Tetapi di sisi lain mereka bisa bertengkar, egois, dan simpati yang melahirkan luka.Â
Beruntunglah manusia dikaruniai keduanya, kita bisa belajar beradaptasi dan toleran terhadap apapun yang menimpa dalam hidup ini. Kita tahu, bahwa suka dan duka akan terus beriringan dalam hidup, maka kita dituntut untuk bisa mengolah dan mengelola cara kerja logika juga perasaan sebaik-baiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H