Mohon tunggu...
Azri Syahrul Fazri
Azri Syahrul Fazri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis adalah hobi, Membaca adalah kebutuhan, Mengabadikan adalah sejarah

Yang lebih sulit dari mencari ide adalah bagaimana ia dapat menuangkan idenya ke dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Pembuat Mural tidak Bermoral

25 Agustus 2021   12:10 Diperbarui: 25 Agustus 2021   13:22 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini tayangan publik sempat diramaikan oleh mural, di mana pembuat mural terancam ditangkap pihak berwenang. Hal tersebut menimbulkan pro-kontra yang tak terelakkan baik dikalangan masyarakat maupun elit politik di Indonesia. Perlu kita ketahui, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mural berarti lukisan pada dinding. Berbeda dengan lukisan, grafiti, atau yang lainnya, mural lebih menekankan pesan dan nilai sosial dalam kelompok atau masyarakat. 

Dalam situasi menghadapi Pandemi ini, tentu akan muncul keresahan atau ketidakpuasan terhadap pemangku kebijakan di Indonesia. Salah satu bentuk ekspresi keresahan masyarakat adalah membuat mural, dengan tujuan ingin menyampaikan keresahan sekaligus kritik terhadap kebijakan yang dianggap menggelitik. Tak khayal lewat tangan-tangan kreatif ini, implementasi keresahan masyarakat dapat tersalurkan tanpa perlu berkoar-koar yang terkadang tidak didengar. Namun para pembuat mural malah terancam dibui, dengan alasan melanggar ketertiban lingkungan dan bersifat provokatif. Terlebih, mural-mural yang ditemukan ada yang menyerupai kepala negara atau presiden yang bisa saja dikaitkan dengan pasal penghinaan presiden. 

Jika dilihat sudut pandang penulis, sensitifitas pihak berwenang atau negara sakalipun terhadap varian kritik pada mural terlalu berlebihan. Padahal, mural-mural di jalanan merupakan bentuk tindakan moral yang bersifat kritik dalam bentuk karya seni. Dalam negara Demokrasi ini, sudah sepatutnya kritik disampaiknan bukan hanya melalui statement dan argumentasi di ruang publik, melainkan juga melalui karya-karya salah satunya karya seni mural ini. Anggapan jika pembuat mural terhadap penguasa dianggap melanggar aturan, hal itu menampakkan betapa sempitnya ruang untuk masyarakat menyampaikan kritik. Tuduhan melanggar pasal dan anggapan provokasi terhadap mural, seakan menjadi tameng bahwa seolah-olah kita dilarang mengkritik.

Kembali ke esensi dalam judul, Apakah Pembuat Mural tidak Bermoral? Berbicara moral tentunya kita berbicara tentang penilaian dan pesan, baik di lingkungan kita atau di ranah yang lebih besar. Artinya penilaian dan pesan masyarakat baik yang terjadi di lingkungan sekitar atau di Indonesia umumya merupakan kolektif keresahan hati, pikiran, dan tenaga yang dituangkan dalam bentuk karya jalanan. Sederhananya, mungkin saja mural itu tidak akan terpampang di jalanan jika moral bangsa ini tidak resah oleh aturan-aturan yang dianggap sah namun malah membuat bangsa makin susah. Lagi pula, dibuatnya sebuah mural pastinya terselip di dalamnya sebuah pesan dan nilai moral. Jika memang mural itu mengganggu, apakah memang seorang koruptor lebih menentramkan dibanding coretan jalanan? 

Sebagai makhluk berpikir, keresahan moral bukanlah hal tabu dalam kehidupan. Apalagi di negara yang dibangun oleh pemikir dan pejuang hebat, kita sudah selayaknya disajikan wadah komunikasi berbagai arah untuk saling bertukar gagasan tanpa perlu ada interpensi dan tuduhan provokatif. Keresahan yang sulit didengar dan gagasan yang mudah ditentang mengakibatkan masyarakat mencari hal lain untuk bisa menyampaikan aspirasinya. Dan mural ialah salah satu jawaban untuk menyampaikan keresahan moral masyarakat. Indonesia yang merdeka dan demokratis ini bukan hanya freedom of speech (kebebasan berpendapat) yang harus menjadi prioritas, tetapi juga mindset tidak mudah tersinggung bagi para pejabat negara dan aturan yang tidak mengekang kebebasan berekspresi (berpendapat). Oleh karenya, implementasi Indoneisa sebagai negara demokratis harus diemban sebaik-baiknya dan tidak dikekakang sesempit-sempitnya oleh orang-orang yang tidak konsekuen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun