Lima tahun yang lalu, Warsito masih terlihat krempeng. Rambut tak tersisir, wajah lebih kurang pemulung sampah yang saban hari mengais-ngais plastik di pekarangan rumah Sumijo. Sumijo sendiri sudah lama geram dengan gaya norak Warsito teman seorganisasinya itu. Maklumlah, Warsito sukses meraup suara rakyat yang tak bertuan pada pemilu legislatif lima tahun yang lampau. Karena ketagihan duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten, tahun ini (2014) ia kembali mencalonkan diri lewat partai berwarna merah. Kalau dulu, ia mengemis-ngemis kepada pejabat-pejabat Partai untuk dapat nomor urut, tahun ini, justru dia yang dibujuk-bujuk supaya mengambil nomor urut. Maklumlah,Warsito sukses memahat pamor sebagai wakil rakyat yang suka bagi-bagi sembako. Tapi tidak bagi Sumijo.
Sumijo bergegas ke rumah Warsito untuk membicarakan soal urusan pencalegan. Ndilalah...Warsito baru saja bangun pagi dan belum berangkat pergi. Malahan Warsito masih menunaikan adat istiadatnya, memandikan burung-burung piaraan dan mengecek ayam bekisar kesayangannya. Merasa lebih senior di organisasi pemuda yang kerjaannya cuma memalak pengusaha-pengusaha yang ketiban sengketa, Sumijo menegur dengan kasar Warsito. "War, sini kamu. Kali ini aku nggak mau kamu kadalin lagi. Dulu kamu janji, kalau sudah tiga tahun jadi dewan, kamu akan mundur, dan gantian sama saya untuk Pergantian Antar waktu (PAW). Nyatanya apa...? Kamu malah masih nyaleg lagi," rungut Sumijo dengan kesal.
"Heheehh. Mas Sum, mbok ya sing sabar. Meskipun sampean nggak PAW-in saya, toh sampean sudah aku kasih mobil, toh," ujar Warsito mencoba menenangkan atasannya itu di organisasi preman berkedok pemuda itu.
"Pokoknya kali ini nggak bisa. Kamu harus tanda tangani surat pernyataan ini dimana kamu pada tahun kedua jika menang lagi siap PAW dan gantinya aku," kata Sumijo lantang.
Singkat cerita, akhirnya Warsito menandatangani surat pernyataan bermaterai 6000 itu. Sumijo puas dan ia pun kembali ke rumahnya.
Sedangkan Warsito tak bisa apa-apa. Sebab sadar, Sumijo adalah seniornya sendiri. Tapi bagaimana pun, ia sudah menikmati lima tahun duduk bertengger di kursi dewan. Kekayaannya meningkat pesat sepesat buncit perut dan gembul pipinya. Dulu pipinya boleh dibilang kempot, sekarang gemblung seperti pipi boboho. Berjalan sepuluh meter saja ia sudah kepayahan gara-gara perut buncitnya.
Ia sendiri heran, mengapa demikian singkat bentuk tubuhnya berubah. Terutama soal perut buncitnya. Kadang-kadang ia melamun menginginkan bentuk tubuh lamanya yang singset gesit. Lama-lama ia insyaf juga bahwa semua itu karena kebiasaan hidupnya yang sudah berubah. Kata orang sekarang, life style-nya sudah beda.
Jika dulu, sarapan paginya biasa di warteg, sekarang jangan coba: ia sudah lupa itu. Kalau tidak di cafe, ya...paling banter di Dunkin Donat atau di Mc D. Pantasen ia gembul seperti humbarger.
Lain lagi jika malam tiba. Dulu ia biasa nongkrong di gardu bersama hansip, sekarang ia biasa keluyuran dari club malam yang satu ke klub malam yang lain. Bahkan dua kali seminggu, ia mengaduk malam di bilangan Kota Jakarta Pusat. Dan selalu saja, diakhiri dengan perzinahan. Dan ternyata ia baru sadar, kegiatan perzinahan yang ia lakoni selama menjabat sebagai dewan itulah biang keladinya: mengapa perutnya terus membuncit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H