Mohon tunggu...
Syahrul Efendi D
Syahrul Efendi D Mohon Tunggu... -

Pecinta fotografi dan seni suara

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Inilah Solusi Cespleng bagi Partai Islam yang Ancur

15 April 2014   16:19 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pemilu 2009 hingga 2014, Partai Islam merosot. Tolak ukur dan perbandingannya jelas, yaitu pada perolehan suara pada Masyumi dalam pemilu 1955. Bukan PPP masa Orba atau gabungan perolehan suara pada pemilu masa pasca reformasi. Makanya aneh, jika Republika gembira dengan perolehan suara partai-partai Islam pada pemilu 2014 ini. Apa yang dapat dibanggakan dari hasil perolehan suara partai-partai Islam tersebut. Kalau PKB melejit dari 4,95% pada pemilu sebelumnya (2009) menjadi sekitar 9,57% (2014) dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga naik, dari 6,03% ke kisaran 7,45%, maka tegas saya katakan, itu yang dua partai, bukan partai Islam. Republika hanya beirilusi saja dengan dua partai itu sebagai partai Islam. Perkaranya jelas, azas mereka bukan azas Islam. Sebab perbedaan partai hanya bisa dibedakan secara objektif dari perbedaan azas dan tujuannya. Atau jangan-jangan Republika punya agenda politis untuk mendorong poros berdasarkan persamaan latar belakang dan karakter pemilih dari partai-partai yang mereka klaim sebagai partai Islam tersebut. Jika itu soalnya, Republika bisa kualat dan ketahuan bertendensi politik praktis. Acuan kita tentang partai Islam, yaitu PKS, PBB dan PPP.  PKS saja hancur perolehan suaranya dari 7,89% pada pemilu 2009 menjadi 6,73% pada pemilu 2014. Jangan kita sebut lagi PPP dan PBB. Malah PPP berantam sendiri ke dalam belakangan ini.

Apa Soalnya?

Sebenarnya soal perolehan partai-partai Islam sangat sepele. Dan terlalu sangat sepele. Ideologi dan tafsir azasnya jelek? Tidak! Bahkan tiada tanding hebatnya ideologi partai Islam tersebut. Ceruk massanya yang sempit? Tidak! Dua ratus juta lebih. Itu bisa 80% perolehan suara. Lalu apa? Soalnya hanya terletak pada elit-elit dan penggede-penggedenya. Apa itu? Para elitnya, para penggedenya, tidak satu antara perbuatan dan perkataan. Tidak satu antara maksud Islam, maksud partainya, dengan kelakuan elitnya. Padahal soal yang begini, merupakan yang paling prinsipil dalam suatu partai yang bernafaskan agama. Lha, kalau agama sudah diremehkan, siapa yang mau hormat.

Sekarang coba periksa dua elit dari dua partai Islam itu sendiri. Anis Matta misalnya dari PKS, Islam mengajarkan lakon juhud dan sederhana, malah pakai rolek dan mobil alphard. Ditambah lagi gaya berpakaian yang jauh dari gambaran seorang yang alim. Mosok pake jins dan kaos ABG, sih? Ini yang saya sampaikan berdasarkan dan menurut cara berpikir orang kebanyakan, lho. Jadi nggak usah kecewa jika perolehan suara merosot, selama kelakuan nggak Islami itu diabaikan oleh elit-elit partai Islam. Ditambah lagi gaya hidup poligami bagi elit-elit partai Islam itu. Kalau dulu Nabi poligami sungguh-sungguh sebagai solusi kemelut yang dihadapi masyarakat awal Islam. Sekarang kalau elit partai Islam itu berpoligami, apalagi sampai empat dan impor pula dari Hongaria, jelas sebuah lakon kemewahan dalam kebutuhan seks. Sorry, saya harus ingatkan hal ini dengan pedas sepedas-pedasnya. Karena saya tidak suka agama ini diperolok-olok oleh elit-elit partai Islam tersebut.

Beralih ke Yusril Ihza Mahendra, ketua Dewan Syuro PBB. Kodo wae. Pake mobil mercy kemana-mana. Berlagak kayak anak muda dua puluh tahunan. Ini tidak benar. Saya saja, sudah canggung untuk bergaya umur dua puluh tahunan, padahan umur saya baru 35 tahun. Tapi itulah kenyataannya.

Solusinya

Solusinya, jika partai-partai Islam itu mau merebut kembali martabat mereka, pertama, gaya hidup mewah tinggalkan dengan tegas dari lakon elit-elit partai tersebut. Misalnya, rolek dan mobil alphardnya Anis Matta dijual dan hasilnya diberikan ke kas partai. Kalau pun ada yang tersisa dari hak milik pribadinya, cukup untuk ukuran biaya hidup rakyat kebanyakan. Lalu aktivitas partai yang tinggi, bagaimana? Biar dibiayai secara transparan oleh partainya, secukup-cukup dan sewajar-wajarnya.  Bila perlu seperti Agus Salim, makan cukup pake kecap saja. Atau seperti Natsir, mau pelantikan saja, kudu pinjam jas, sampai kelihatan kekecilan. Mampu nggak? Kalau nggak mampu, minggir! Elit-elitnya yang lain ikut juga dengan cara itu, sehingga mereka menjadi contoh bagaimana disiplin dalam berpartai ditegakkan.

Yusril pun begitu. Jual mercy-nya. Nggak usah beracara. Cari makan dari dosen saja, yang jelas dan tidak syubhat rezekinya. Kalau nggak mau? Berarti memang berpartai Islam itu cuma main-main dan adu gengsi saja supaya disebut punya anak buah dan massa dimana-mana dan dengan itu kepala jadi besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun