Mohon tunggu...
Syahrul Efendi D
Syahrul Efendi D Mohon Tunggu... -

Pecinta fotografi dan seni suara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kisah Ali Jaka (28)

28 April 2014   03:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nun di Eropa, di sebuah taman yang penuh dengan bunga tulip, Meiliana berdebar-debar membuka sepucuk surat. Surat bersampul coklat. Sangat sederhana. Tak ada tanda-tanda hal yang istimewa. Hanya nama si pengirimlah yang membuat surat selebar telapak tangan itu menjadi istimewa buat Meiliana yang sudah lama tak mendengar berita, baik tentang si pengirim sendiri maupun cerita yang dibawa si pengirim. Syukur-syukur si pengirim menyampaikan up date berita tentang yang melatari kepergian Meiliana dari Indonesia, negerinya yang ia cintai.

Dengan sangat perlahan sekali, ia merobek sedikit demi sedikit sampul surat itu untuk mendapatkan isinya. Dua helai kertas putih ukuran kwarto yang diketik dengan ukuran huruf 12 Georgia dengan spasi 1,5. Oh, betapa sederhananya surat itu. Mengapa si pengirim tidak mencari jenis huruf yang lebih keren atau lebih mencerminkan perasaan romantis? Lantas apakah isi surat itu? Apakah si pengirim menyampaikan kabar melegakan bahwa hasrat Meiliana untuk menjalin kasih dengan si pengirim akan disambut? Sekiranya itu kandungan suratnya, Meiliana akan girang bukan kepalang hatinya. Lagi pula perempuan bermata sipit yang cantik dan halus budi itu kesepian di negeri orang. Bila ada surat yang datang dari negerinya, tentu rasa sepinya sedikit terobati. Maka ia pun mulai membaca baris demi bari isi surat itu. Begini isinya:

Meiliana,

Sepeninggalmu meninggalkan Indonesia, kasus PT. Pigland bukannya mereda, malah semakin panas dan merembet ke mana-mana. Sebenarnya jika kasus ini menjadi batu pijakan sebuah perubahan yang lebih baik di kemudian hari bagi bangsa ini, tentu sangat baik. Tetapi rasanya kecemasanlah yang lebih menyelubungi alam pikiran setiap orang di negeri ini jika kasus ini membelok menjadi alat politik bagi segelintir pihak avonturir dan oportunis untuk mereka manfaatkan untuk meraih kekuasaan. Engkau, Mei, tentu sudah berpengalaman bagaimana berbagai kerusuhan rasial di negeri ini ditunggangi oleh orang-orang jahat. Ibaratnya, orang jahat membuat suatu kejahatan terhadap orang jahat untuk meraih kekuasaan di dalam masyarakat. Yah...itulah yang mencemaskan kami di sini, mengingat berbagai media mulai tak jelas opininya. Media-media itu sama sekali tidak mengarahkan kasus ini menjadi sebuah aksi reformasi ekonomi, sosial dan politik yang lebih adil. Mereka hanya mengeksploitasinya sebagai tontonan dan perdebatan yang menjemukan dan membingungkan setiap orang.

Kau sendiri, bagaimana keadaanmu di sana, Mei? Apakah engkau sudah mendapatkan kampus yang tepat untuk menyalurkan minatmu?

Sebenarnya Mei, engkau tinggal di Belanda itu sebuah kesempatan emas. Pelajarilah bahasa bangsa yang pernah menjajah kita itu. Supaya engkau dapat membaca setiap literatur dan manuskrip era kolonial yang masih langka untuk kita ketahui di Indonesia. Terutama, pelajarilah mengapa dan bagaimana Belanda membuat stratifikasi sosial di masa lalu: Eropa di kasta tertinggi, kemudian kasta menengah yaitu Timur Jauh yang di dalamnya leluhurmu merasakannya, lalu pribumi, yaitu leluhurku berada di kasta paling bawah. Pembagian kasta dalam era kolonial itu telah membuat suasana pergaulan antar manusia di masa lalu menjadi demikian rusak, dan efeknya masih terasa hingga kini. Cobalah, Mei, cermati, betapa hingga hari ini sesama bangsa Indonesia, kita tidak saling percaya, saling curiga dan saling dengki. Itu karena apa? Aku kira itu karena sisa-sisa perasaan sosial yang timbul di era kolonial sialan itu.

Tapi Mei, sama seperti engkau, tidak semua orang Belanda jahat. Tidak semua penjajah itu lalim. Di antaranya tentu kau kenal orang bernama Multatuli si pengarang novel Max Havelaar itu. Dari novelnya itu, aku bisa menyadari dan mengerti bagaimana penjajahan itu beroperasi. Penjajahan itu, Mei, tidak saja merampas harta benda pribumi. Tapi juga merampas impian, kesadaran, dan memori mereka. Kau tak percaya, Mei? Cobalah baca cuplikan novel Multatuli yang kukutipkan di surat ini.

Orang Jawa sebenarnya petani; tanah di mana dia lahir, yang banyaak menghasilkan dengan sedikit keluar keringat, membikin hatinya tertarik untuk menjadi petani; terutama, ia dengan seluruh jiwa raganya berkeinginan untuk menanami sawahnya, dan dalam hal itu sangat cekatan. Ia tumbuh di tengah sawah-sawahnya, gaga-gaga dan tiparnya, sejak kecil ia mengikuti ayahnya ke ladang, dimana ia membantu ayahnya membajak dan mencangkul, mengerjakan bendungan dan saluran air untuk mengairi ladang-ladangnya. Usianya dihitungnya dengan berapa kali panen, lamanya waktu dinyatakannya dengan warna batang padi di ladang; ia mencari jodohnya di tengah gadis desa yang sambil bernyanyi gembira malam hari menumbuk padi untuk melepaskan kulitnya; memiliki sepasang kerbau yang akan membajak sawahnya, itulah cita-citanya; ... pendeknya, menanam padi bagi orang Jawa, adalah sama dengan memetik anggur bagi orang di daerah Rijn dan di Selatan Perancis.

Tapi datanglah orang-orang asing dari Barat; mereka itu menjadikan dirinya pemilik tanah itu. Mereka hendak mendapat untung dari kesuburan tanah itu, dan menyuruh penduduk memberikan sebagian tenaga dan waktunya untuk menghasilkan tanaman-tanaman lain, yang lebih menguntungkan di pasar-pasar Eropah. Untuk menggerakkan orang-orang yang sederhana itu, cukuplah mempunyai pengetahuan politik sedikit. Karena mereka patuh kepada kepala-kepalanya; jadi cukuplah kalau dapat mempengaruhi kepala-kepalanya itu, dengan menjanjikan sebagian keuntungan kepada mereka ....., dan, - mereka berhasil.

Mei, kau telah membacanya, bukan? Apakah yang kau simpulkan dan apa juga analogimu dengan keadaan di Indonesia hari ini? Di sini biarkan aku menambahi kisah Havelaar dari Multatuli itu dengan keadaan hari ini: “Sekarang yang lebih parah lagi, belum lagi memori tanah bertangkup ladang dan sawah itu hilang dari kenangan, orang sudah menyulapnya menjadi tempat onggokan-onggokan pabrik dan hutan-hutan beton. Aduhai teganya mereka membunuh kenangan kami, idaman hidup kami.

Mei yang baik,

Saat ini, kukabarkan padamu, Jakarta sudah mulai riuh dengan demonstrasi. Semoga tak berubah menjadi kerusuhan yang fatal.

Ok, Mei. Itu dulu suratku padamu kali ini. Aku lebih suka mengirimkan surat ini lewat pos padamu ketimbang email. Entah karena alasan apa, aku pun tak tahu. Aku cuma membayangkan, lebih gampang agaknya dirimu membaca surat di kertas dari pada membacanya lewat email. Kalau surat, kau berguling-guling di kamar pun masih bisa membacanya, coba kalau email, laptopmu mau kau taruh dimana? Lebih susah, bukan?

Ali Jaka

Temanmu

Meiliana menutup surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gelinya dengan bait-bait joke pada surat Ali Jaka di bagian akhir itu. Mengembanglah senyumnya.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun