Mohon tunggu...
Syahrul Efendi D
Syahrul Efendi D Mohon Tunggu... -

Pecinta fotografi dan seni suara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Ali Jaka (31) - Tamat

16 Mei 2014   03:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:29 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sebulan lebih proses pemulihan situasi oleh pemerintah. Harus diakui, Presiden cukup cerdik menguasai keadaan. Perlahan tapi pasti, kondisi ketertiban berangsur pulih. Demonstrasi mahasiswa pun turut berangsur surut. Ali Jaka, Joyo, dan Bolkas Batubara kembali ke rutin kuliah seperti sedia kala. Hanya sesekali mereka berkunjung ke kantor DREN untuk berdiskusi dengan Prof. Jonky.

Ali Jaka pun mengambil waktu untuk membalas surat Meiliana yang sudah lama di tangannya. Mulailai ia menulis.

Meiliana sahabatku,

Ketertiban tanah air kita telah berangsur pulih. Proses reformasi ekonomi nasional juga sudah memperlihatkan perkembangan yang menggembirakan. Bagi rakyat jelata yang lama menderita atas hisapan ekonomi segelintir keluarga konglomerat, keadaan ini merupakan suatu yang menggembirakan dan meniupkan angin optimisme bagi mereka. Memang akibatnya, banyak yang tidak menyenangkan bagi para keluarga konglomerat itu, karena selalu disorot dan ditekan. Tapi memang harus melalui cara begitu, Mei, biar keadaan berubah.

Mei, kau mungkin tak begitu merasakan pedihnya penjajahan. Lain dengan kami, si pribumi yang paling menjadi sasaran penjajahan. Karena itulah kami begitu sensitif dengan penindasan dan penjajahan dalam segala bentuknya.

Jika kau sudah membaca Max Havelaar-ya Multatuli, informasi penjajahan di masa lalu di novel itu, begitu menyedihkan sekaligus mengharukan. Itulah sebabnya, reaksi si pribumi terhadap segala bentuk penjajahan amat keras, karena si pribumi merasakan betul sakitnya dijajah.

Bahkan si pengarang sendiri, Multatuli, sampai demikian geramnya dengan penjajahan oleh bangsanya itu. Geramnya itu ia salurkan ke dalam novel legendaris itu. Mungkin dia sudah kehilangan alternatif untuk melawan penjajahan itu, kecuali menuliskannya, melaporkannya ke umum. Karena dengan begitu, setidaknya dia berharap, para pejabat penjajah itu malu di muka umum, terutama di khalayak masyarakat Eropa.

Cobalah resapi kembali, Mei, pukulan tulisannya itu. Dia mengatakan menderita, Mei. Menderita karena apa? Menderita menyaksikan penjajahan itu, Mei. Menyaksikannya saja sudah membawa derita, apalagi si pribumi, si Saijah dan Adinda yang diterjang ganasnya penjajahan itu. Lebih baik aku kutipkan sedikit karangannya itu.

.... aku Multatuli, yang telah banyak menderita, mengangkat pena. Aku tidak minta maaf untuk bentuk bukuku, .... bentuk itu aku rasa lebih baik untuk mencapai tujuanku.

Tujuan itu adalah dua:

Pertama-tama aku hendak membuat sesuatu yang dapat disimpan sebagai pusaka yang keramat oleh “Max Junior” dan adiknya, apabila orang tuanya sudah mati karena sengsara.

Aku hendak berikan anak-anak itu surat tanda bangsawan yang kutulis sendiri.

Dan kedua: aku mau dibaca !

Ya, aku mau dibaca ! Aku mau dibaca oleh negarawan-negarawan yang berkewajiban memperhatikan tanda-tanda zaman; -- oleh sastrawan-sastrawan yang juga harus membaca buku itu yang begitu banyak dijelek-jelekkan orang; -- oleh pedagang-pedagang yang berkepentingan pada pelelangan kopi; -- oleh pelayan-pelayan wanita yang menyewaku dengan wang beberapa sen; -- oleh gubernur jenderal-gubernur jenderal yang menikmati pensiunnya, oleh menteri-menteri yang sedang aktif; -- oleh begundal-begundal tuan-tuan yang mulia itu; -- oleh pengkhotbah-khotbah yang “more mojorem” (menurut kebiasaan leluhur) akan mengatakan bahwa aku mencerca Tuhan Yang Maha Kuasa, sedangkan aku hanya berontak terhadap tuhan kecil yang mereka buat menurut gambarannya sendiri; -- oleh anggota-anggota perwakilan rakyat yang harus mengetahui apa yang bergolak dalam kerajaan besar di seberang lautan, yang adalah sebagian dari kerajaan Belanda ....

Ya, aku bakal dibaca !

Jikalau tujuan itu tercapai, maka puaslah aku. Sebab aku bukan hendak menulis baik, ... aku hendak menulis begitu rupa, sehingga didengar, dan seperti orang yang berteriak: “tangkap maling itu !” tidak peduli gaya ia menyampaikan ucapannya yang spontan kepada publik itu, maka akupun tidak perduli bagaimana orang menanggapi cara aku meneriakkan: “tangkap maling itu”.

“Buku itu isinya aneka macam, tidak beraturan, pengarangnya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak nampak keahlian; .... tidak ada bakat, tidak ada metode.” .....

Baik, baik, .... semuanya itu benar, .... tapi orang Jawa dianiaya !

Sebab, orang tidak bisa membantah maksud utama karyaku.

Semakin keras orang mengeritik bukuku , semakin baik aku rasa, sebab lebih besar kemungkinan bakal didengar; -- dan itulah yang aku mau.

Tapi tuan-tuan yang terganggu dalam “kesibokan”-nya atau “ketenangan”-nya, menteri-menteri dan para gubernur jenderal, janganlah terlalu mengharap bahwa penaku akan tetap tumpul. Aku akan dapat melatih diri, dan dengan sedikit susah payah barangkali menjadi pandai, sehingga bisa membikin rakyat percaya, bahkan juga kepada kebenaran. Maka aku akan meminta kepada rakyat itu kursi dalam perwakilan, meskipun hanya untuk memprotes terhadap surat keterangan tentang kejujuran yang diberikan ahli yang satu kepada ahli yang lain vice versa, barangkali supaya orang percaya bahwa mereka sendiri menghargai sifat itu; -- untuk memprotes ekspedisi-ekspedisi dan perbuatan-perbuatan kepahlawanan yang tidak berkesudahan melawan makhluk-makhluk celaka sebelumnya dipaksa berontak karena dianiaya; -- untuk memprotes surat-surat edaran pengecut yang keji yang menodai kehormatan bangsa dengan meminta kedermawanan khalayak ramai supaya membantu korban-korban pembajakan laut yang kronis.

Memang pemberontak-pemberontak itu adalah kerangka-kerangka kelaparan dan pembajak-pembajak laut itu adalah orang-orang yang kuat melawan musuh ....

Dan kalau aku tidak mendapatkan kursi itu .... kalau orang terus juga tidak percaya kepadaku .....

Maka aku akan menterjemahkan bukuku dalam beberapa bahasa yang sedikit yang aku tahu, dan dalam banyak bahasa yang dapat kupelajari, untuk meminta kepada Eropah, apa yang kucari sia-sia di negeri Belanda.

Dan dalam semua ibukota dinyanyikan lagu-lagu dengan ulangan seperti ini: “ada negara pembajak di tepi laut, antara Friesland Timur dan sungai Schelde !”

Dan kalau ini pun tidak berhasil ? ....

Maka akan kuterjemahkan bukuku dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Alifuru, Bugis, Batak ....

Dan akan kulontarkan lagu-lagu perang pengasah kelewang ke dalam sanubari pejuang-pejuang syahid, yang telah aku janjikan pertolongan, aku, Multatuli.

Pertolongan dan bantuan, dengan jalan sah, di mana mungkin; -- dengan kekerasan atas jalan yang sah, di mana perlu.

Dan itu akan sangat merugikan pelelangan kopi maskapai dagang Belanda !

Sebab aku bukan penyair yang menyelamatkan lalat, bukan pemimpi yang lembut hati, seperti Havelaar tertindas yang melakukan kewajibannya dengan keberanian seekor singa, dan menderita lapar dengan kesabaran seekor marmot di musim dingin.

Buku ini adalah suatu pendahuluan ....

Aku akan bertambah hebat dalam tenaga dan ketajaman senjata, semakin hal itu diperlukan.

Mudah-mudahan hal itu diperlukan.

Tidak, hal itu tidak akan perlu ! Sebab kepada Tuanlah bukuku ini kupersembahkan, Willem Ketiga, raja, hertog besar, pangeran, .... lebih dari pangeran, hertog besar dan raja, .... kaisar kerajaan Insulinde yang indah, yang melingkar nun di sana di khatulistiwa laksana sabuk jamrud ! ....

Kepada Tuan aku bertanya dengan penuh percaya apakah kemauan Tuan mahadiraja:

bahwa orang-orang seperti Havelaar keciprat lumpur orang-orang seperti Slijmering dan Droogstoppel; --- dan bahwa nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta disiksa dan dihisap atas namamu? ...

Jadi kira-kira apa maksud suratku ini padamu, Mei? Sudah jelas, aku ingin kau memelihara jiwa Multatuli-mu, Mei. Mulatuli mengatakan, orang Jawa dianiya. Ya, dia betul, Mei. Sekarang sama saja. Engkau mau tahu buktinya?

Cobalah perhatikan, wajah siapa yang muncul jika iklan promag, bodrex, entrostop, dan konidin di media? Sebaliknya wajah siapa yang muncul jika iklan apartemen dan hotel-hotel mewah? Itu bukti yang jujur Mei, bahwa kemakmuran belum merata – suatu orde yang diciptakan oleh penjajah di masa lalu. Siapa yang tidak geram dengan hal itu.

Salam

Sahabatmu – Ali Jaka

Daftar Pustaka

Multatuli, Max Havelar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (Terj. H.B. Jassin), Jakarta: Djambatan, 2000

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatera Timur 1863-1947 (Terj. J. Rumbo), Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1985

Syahrul Efendi D, Pedoman Perjuangan Gerakan Rakyat Mayoritas, Jakarta: Baca Press, 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun