Jika semuanya adalah perihal menerima,
aku berharap bisa menatapmu
di satu meja yang sama. Di dalam kafe, kita berjarak dua meter dari mata jendela, membuat sebaris percakapan atau pertanyaan
seperti bagaimana aku bisa mencintaimu atau kenapa kau tidak kunjung bisa jatuh cinta kepadaku.
Hujan merangkul kita dari luar,
tubuh seorang bocah di belakangmu
tetap hangat karena dipeluk ibunya.
Terkadang ada perihal lain yang tidak perlu kau tanyakan. Selain kenapa aku lebih suka kalau hujan turun di hari Minggu. Lantas kujawab agar kau bisa tidur siang.
Secangkir kopi bukan pasangan yang tepat bagi orang-orang haus. Tapi terkadang  hujan bisa membuat bibirmu terasa lebih dekat dengan bibirku. Rasanya aku bisa memeluk diriku sendiri dan membayangkan tubuhku adalah tubuhmu, tanganku adalah tanganmu, dan mataku adalah matamu. Agar kau melihat dan merasa bahwa aku tidak cukup mencintaimu kecuali karena aku mencintai diriku sendiri.
Atau bagaimana hujan mengajariku untuk menerima kesendirian dengan berpura-pura merasa lengkap. Dengan bayangan-bayangan yang menyamar menjadi percakapan kita. Seolah-olah dari balik jendela itu aku bisa menangkap dan melipatnya,
lalu kutulis pada bagian terdalamnya semacam sajak:
karena hujan turun
di hari minggu
dan bocah di belakangmu
masih merasa
hangat,
maka beristirahatlah.
aku mencintaimu,
dan sudah kulipat hujan
menjadi kalimat yang bisa
kau baca
kalau sudah terjaga.
Yang kemudian kubayangkan ia terselip di antara koran minggu pagi di atas meja tamu.
Tapi kau merasa hujan yang kulipat itu masih terlalu samar meski telah kutambahkan catatan kecil pada bagian terluar:
bacalah,
hujan ini mencintaimu
tanpa memahami reda,
atau pernah tahu
bagaimana caranya berhenti.