Pertamakali mengetahui nama saya masuk nomine Kompasiana Award 2019 untuk kategory Best in Fiction adalah pada enam November lalu, sekitar pukul sebelas pagi.
Saya sedang di kantor, dengan Torabika Kapucino di tangan kiri, dan sebungkus mi instan yang saya makan mentah di atas meja. Di samping mi instan tersebut, ponsel saya bergetar —kali ini bukan cuma hati saya—, pesan masuk dari sosok pemenang Best in Fiction Kompasiana tahun lalu, Mbak Wahyu Sapta, diiringi ucapan selamat, beliau mengirimkan gambar tangkapan layar yang memajang foto kuning saya berjejer bersama nomine Best in Fiction keren lain: Mas Mim, Mas Pringadi, Latifah "Young Lady" Maurinta, dan Mbak Amel Widya.
Tentu saja saya kurang yakin pada awalnya, dan untuk memastikan, saya meminta link informasi valid yang memang memcantumkan nama saya sebagai nomine tersebut kepada Mbak Wahyu. Dan ternyata memang benar, ada nama saya di sana. Wow, sebuah kebanggaan bagi saya. Terlebih ketika saya menyadari, bahwa saya adalah salah satu dari sedikit kompasianer bercentang hijau yang menjadi nomine!
Saya benar-benar tak mengira bahwa saya bisa menjadi salah satu dari nomine Kompasiana Award 2019, karena, ya, sejak awal saya memang hanya menulis demi kesenangan diri saya sendiri. Tak ada niatan lain —meskipun terkadang nominal K-Reward cukup menggoda.
Seperti kebanyakan orang yang memiliki kehidupan dan rutinitas yang cukup membosankan, menulis —puisi dan cerpen lebih tepatnya—membuat saya merasa lebih terbebas dari nafas yang datar. Dan secara kebetulan pula, saya menemukan Kompasiana sebagai wadah yang bisa saya gunakan untuk menampung beberapa ide serta tulisan saya.
Saya bergabung dengan Kompasiana sejak tahun 2014, namun hampir tidak pernah menelurkan tulisan apa pun selama beberapa tahun. Yang bisa saya ingat hanyalah beberapa tulisan yang pernah saya publikasikan di rentang tahun 2017 hingga 2018—yang beberapa di antaranya sudah saya hapus atau dipindahkan—dengan kualitas yang minor tentunya.
Barulah sejak tahun 2019 ini saya mulai konsisten menulis di Kompasiana dengan beberapa jurus yang saya pelajari dari beberapa kompasianer lainnya. Sejak bulan Februari lalu, setidaknya saya bisa menerbitkan satu tulisan dalam tiga hari.
Pada awalnya saya tidak ingin keterusan, tapi karena puisi saya yang berjudul "Selamat Kehilangan Aku" diberi label "Artikel Utama" pada bulan Februari lalu, maka mulailah kecanduan saya terhadap platform yang satu ini.
Terus terang, saya haus akan penghargaan terhadap buah karya saya, penghargaan terakhir —sebelum Artikel Utama tersebut—yang saya dapat adalah sekitar 10 tahun yang lalu, saat kaligrafi saya memenangi lomba tingkat kecamatan. Benar-benar sudah lama sekali. Dan saya sungguh bersyukur, Kompasiana memberikan saya kepercayaan diri yang lebih berkat adanya penghargaan terhadap apa yang saya lakukan.
Sejak menerima label "Artikel Utama" pertama saya tersebut, kepercayaan diri saya semakin tumbuh dan saya mulai aktif menulis puisi atau pun cerpen. Saya mengikuti komunitas literasi, saya menghadiri acara pembacaan puisi, saya mulai memenangi beberapa event dan lomba menulis, dan puncaknya, pada bulan September lalu saya bisa menerbitkan buku kumpulan cerita pertama saya, disusul kemudian buku kumpulan puisi di bulan yang sama. Kendati saya memang menyukai hal-hal berbau seni sejak masih SD, namun karya saya nyaris tidak pernah tersalurkan dengan benar. Bagi saya, karya tulis adalah salah satu wujud dari seni.
Beruntunglah pada akhirnya saya berjumpa Kompasiana, hingga mengumpulkan saya dengan orang-orang hebat yang juga membuat saya banyak belajar dari mereka, melalui tulisan mereka di fiksiana atau pun di rubrik lain.
Kompasiana adalah candu. Bisa saya bilang begitu, setidaknya setahun belakangan, semenjak saya mulai aktif mengisi tulisan di sini, betapa banyak pelajaran yang saya dapat. Sedari teknis menulis, hingga penggunaan tata bahasa yang tepat. Sedari sajian ringan sampai ke tulisan yang berat. Di sini saya menemukan feedback yang cukup jarang bisa saya temukan di blog lain.
Feedback yang saya maksud adalah berupa vote atau pun komentar-komentar yang tidak hanya sekadar membangun lewat kata-kata, baik pujian atau saran, Â namun juga diselingi dengan salam perkenalan yang pada akhirnya membuat para penulis jadi semakin akrab.
Tanpa bermaksud mengesampingkan para penulis yang lebih sering mengisi rubrik lain, terus terang saya merasa bangga dengan para penulis yang kerap menghiasi dinding fiksiana. Mereka adalah orang-orang yang kompak. Terlihat dari betapa seringnya tulisan yang nangkring di kategori artikel dengan nilai tertinggi. Hal demikian, saya kira, menunjukkan bagaimana mereka saling berkunjung dan bertukar vote. Saya sudah membuktikannya. Betapa orang-orang ini ramah dan saling meninggalkan jejak di artikel teman-teman fiksianer yang lain.
Kemudian, bagian inti daripada tulisan yang muter-muter ini, tentunya saya ingin mengucapkan terimakasih pada seluruh rekan yang sudah mengajukan nama saya untuk menjadi nomine K-Award 2019. Kepada rekan-rekan di Kombatan, pribadi-pribadi sendu yang menghuni grup Project Puisi Berbalas yang tak bisa saya sebutkan satu persatu, kawan-kawan di Fiksiana Community, serta teman-teman Rumpies The Club.
Jika pada akhirnya dari kalian ada yang memutuskan untuk memilih saya kembali, maka saya akan mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Meskipun memang, tak ada yang bisa tawarkan. Saya tak bisa berkampanye dengan menghambur-hamburkan uang, atau menyuarakan pidato yang menawan.
Akhirul kata, jika berminat untuk memilih saya, silakan vote saya di sini.
Tapi pastikan sebelumnya kalian memiliki akun Kompasiana, ya. Kalau belum, ayo bikin dulu.
"Pilihlah aku bila engkau suka.
Tapi aku tidak akan memaksa.
Karena sejak awal aku sudah terlatih
untuk tidak terluka bila tak dipilih."
(Wkwkwk)
Salam hangat dari Kota Martapura, Kalimantan Selatan, bosque sekalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H