Lalu aku berpikir dalam hati, tidakkah engkau sadar, Nadia? Kebanyakan orang membenci individu yang cengeng, yang ketika ditawarkan kebahagiaan, ia malah menghindar. Kupikir hampir semua orang tidak menyukai orang bersedih. Kecuali aku, barangkali. Karena aku menyukai kesedihan dan kerap merayakannya dengan sesulang tulisan.
Maka kutulis ini untuk kalian. Tentang Nadia, salah satu perempuan paling cengeng yang pernah aku temukan. Tapi tidak sedemikian singkat aku bisa menyukai Nadia, meskipun memang aku menyukai kesedihan.
Tentang pemuda tampan yang datang kepada Nadia, pemuda itu meminta Nadia untuk menjadi kekasihnya. Tapi Nadia menolak atas dasar kesetiaan pada kekasihnya yang di seberang, yang tidak kunjung pulang.
Pada kemarin yang lagi-lagi aku lupa kapan tepatnya, sepertinya sudah cukup lama, bahkan hingga hari ini, aku masih sering membayangkan Nadia terduduk dengan kulit yang perlahan keriput dan airmata yang semakin beringsut. Jiwanya kerontang. Matanya berdarah. Tapi cintanya tidak jua berkurang.
Jikalau kalian merasakannya sebagaimana aku merasakannya, mungkin kalian akan mengatakan hal yang sama denganku.
O, Nadia, apa kabarnya lelaki pujaanmu itu? Apakah dia sudah jadi tulang belulang? Atau dia kini malah sudah memiliki banyak cucu dari anak-anak yang keluar dari rahim seorang jalang?
Kau harus belajar merelakannya sebelum cerita ini jadi semakin panjang.
Sebelum kau jadi bujang lapuk yang tak pernah merasakan kenikmatan berhubungan badan. Dan sebelum orang-orang semakin tidak suka membaca cerita yang melulu tentang kesedihan.
Kupikir aku mulai membenci Nadia dan kesedihannya. Mungkin begitu juga dengan kalian.
Maka izinkan aku untuk menyelamatkannya, mengakhiri cerita ini dengan membunuh Nadia dengan segala penantian dan rasa sakit karena cinta yang dideritanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H