Mengenangmu membuatku merasa sebagai manusia yang kembali utuh.
Kadang-kadang, di atas jalan setapak ini, atau ketika daun-daun cokelat tua itu berguguran dari pohon, jatuh dan mengisi jejak yang kau ciptakan. Aku terpenjara oleh batas di antara angin, dan punggungmu serupa pendar cahaya yang bersinar dari jauh. Redup. Lalu hilang.
Pada malam-malam yang gigil, aku mengenangmu sebagai sebuah kehangatan. Membayangkan apa yang masih bisa kumiliki darimu. Barangkali nama yang aku sebut, tanpa perlu meminta izin, bahwa aku ingin meletakkan sesuatu yang tersisa dari kita untuk mengisi ruang-ruang kosong langit yang disisakan oleh malam.
Apabila kau melihatnya. Kau akan mengingatku. Mengenang kita. Sesuatu yang bercahaya di antara kelengangan langit saat bintang membentuk rasi asing yang tidak kita kenali: selain namamu.
"Yang menyala..." katamu belum selesai.
Aku duduk di bawah pohon besar yang melahirkan daun-daun kering dan berwarna cokelat tua, yang gugur untuk mengisi lubang bekas jejak yang kauciptakan.
Dan namamu adalah satu-satunya yang kumiliki, yang tidak hilang dan pergi. Yang tersisa. Kenangan yang tidak selesai.
Kurekatkan di antara bidang kosong pada langit. Apabila kau melihatnya, barangkali kau akan mengenang kita, dan mengingatku, atau seseorang yang memunguti guguran daun-daun cokelat tua untuk melihat kembali jejak yang kauciptakan, serta mengenangmu. Sebab ia merasa utuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H