"Anak saya ini memiliki garis keturunan penyakit mental."
"Lantas?"
"Jadi, secara langsung atau pun tidak, anak saya ini adalah calon orang yang mengidap penyakit mental juga."
Dahi saya mengkerut. Masih kebingungan.
"Anak muda pernah dengar kalau penyakit mental, atau sebut saja penyakit gila ini, merupakan penyakit turunan?"
"Tidak," jawab saya singkat.
Saya hanya terperangah. Dada saya berdebar-debar sekali. Ada lebih dari setengah sekiranya batin saya ini tidak percaya.
"Saya, terus terang saja, tidak ingin menikahkan puteri saya dengan siapa pun juga. Karena yang saya tahu, sudah dari lima turunan sampai ke anak saya ini, mereka mengidap penyakit mental semua. Jadi, saya kira, hendaklah saya putuskan garis keturunan dia sampai di sini saja supaya ke depannya tidak ada lagi orang-orang yang menderita penyakit mental semacam ini. Cukuplah dia sendiri yang membusuk dalam kesepian. Cukuplah istri saya saja yang meninggal akibat penyakit ini. Saya tidak sanggup melihat keturunan saya menjadi orang-orang yang menderita akibat gangguan mental ini. Tapi, saya tidak pernah menduga kalau dia bisa memiliki seorang kekasih juga."
Saya tersenyum hampa. "Anda bercanda?" tanya saya memastikan. Mata saya tidak lepas sedikit pun dari orang ini.
"Terserah pada engkau, anak muda, apabila tidak percaya." Wajahnya datar tanpa ekspresi. Dan jadilah saya merasa kalau memang orang ini tidak bercanda. "Semua keputusan ada di tanganmu. Saya sangat menghargaimu karena engkau sudah mampu mencintai puteri saya sampai sejauh ini. Tapi perlu engkau tahu, anak muda, bahwasanya gejala penyakit ini sudah ada pada dia. Dan mungkin engkau tidak mampu menyadarinya."
"Maaf..." kata saya. Tapi tidak bisa meneruskan.