Sebagai seorang laki-laki yang miskin saya tidak punya pilihan lain selain meninggalkannya. Sejak kecil dia dan keluarganya sudah terlalu baik dengan saya dan ibu saya. Pikiran-pikiran semacam balas budi selalu berenang di kepala saya. Meski pada dasarnya saya juga mencintainya, tapi apa yang dapat saya tawarkan untuk membahagiakannya? Jawabannya: tidak ada.
Saya sering merasa bersalah tiap kali menatap matanya yang layu ketika ia memandang kepada sepasang kekasih yang sedang menikmati waktu berdua, tertawa gembira, hingga bertukar hadiah dalam merayakan ulang tahun hubungan (mungkin). Entah pacaran atau perkawinan. Saya lupa bertanya dan saya memang tidak ingin tahu urusan orang. Yang jelas mereka pasti dua orang yang menjadi pasangan.
Dia orang yang baik. Malah terlalu baik bagi saya. Bahkan sejak kecil, sejak kami masih duduk di sekolah dasar ketika dia membantu saya untuk membayar uang sekolah karena uang saya habis di toko mainan Bang Jawir yang cakap merayu bocah-bocah tolol macam saya. Gara-gara dia, uang sekolah saya habis buat dibelikan mobil-mobilan tamiya. Bang Jawir yang bangsat itu.
***
Hari ini dia sudah menunggu saya, berdiri di dekat jembatan sambil memetiki bunga-bunga yang saya tidak tahu milik siapa.
"Selamat siang," katanya, "cuacanya sedang panas."
Saya mengangguk, "Kamu tidak malu punya kekasih seperti saya?" tanya saya di sebuah siang yang terik, saya memang sering mengajaknya bertemu di jembatan ujung kampung ini. Hampir setiap sebulan sekali. Saya benar-benar tidak romantis. Lebih parah, saya jarang ada untuknya.
"Kenapa harus merasa malu?"
"Karena saya orang susah."
"Bagi saya hartamu tidak penting. Selama kamu selalu berada di sisi saya, itu lebih dari cukup," dia membalas dengan jari-jarinya memegangi kelopak-kelopak bunga. Seolah-olah ingin melakukan perhitungan rahasia dengan alam, apakah saya cukup layak untuk dicintai atau tidak.
"Sudah sepuluh tahun. Kamu tidak bosan dengan saya? Saya benar-benar tidak memiliki sisi romantis seperti laki-laki lain."