Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Rutinitas Mudik, dari Kampung Menuju Kampung

1 Juni 2019   12:57 Diperbarui: 1 Juni 2019   13:01 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya saya tidak pernah secara rinci mengerti makna kata mudik. Apakah kepulangan tubuh seseorang dari sebuah kota besar menuju desa kecil yang dikelilingi hijau kebun teh atau persawahan, atau justru malah dari planet kerdil tak dianggap seperti pluto yang akibat terlalu rindunya harus sampai ke Bumi dalam waktu tiga hari. Entahlah. Karena satu-satunya yang terlintas dalam benar saya ketika mendengar kata mudik adalah pulang. Sesederhana itu.

Jika dalam artian mudik yang sebenarnya adalah kepulangan dari kota ke desa selama lebaran, maka saya kira saya tidak pernah benar-benar mudik. Bahkan jika arti dasar mudik hanyalah pulang, maka saya pikir saya juga tidak pernah benar-benar pulang.

Saya lahir, tumbuh, dan bekerja di satu tempat yang sama. Perjalanan hidup saya pendek. Saya nyaris tidak pernah ke mana-mana dan hanya mendiami sebuah titik. Lebih seperti satpam cungkring berkumis tipis yang setia berkeliling komplek. Oi, tapi saya bukan satpam.

Terus terang, kadang-kadang hal seperti itu membuat saya bertanya-tanya seperti apa rasanya makna pulang yang sebenarnya, atau bagaimana rasanya punya kampung halaman. Namun saya tidak sedang berkeinginan menjadi salah satu dari manusia nomad. Tidak. Mereka memang punya sejarah perjalanan dan langkah yang panjang. Tapi mereka tidak memiliki sebidang tanah kelahiran yang benar-benar bisa dirindukan.

Rutinitas Lebaran Fitri saya cuma sebatas berputar-putar di sebuah kecamatan yang pucat dan membosankan. Yang tetapi saya rasa akan sangat saya rindukan apabila cita-cita saya kawin dengan seorang wanita bule dan tinggal di sebuah negara yang dingin dengan harga kebutuhan hidupnya yang mahal itu terkabul.

Sehari penuh lebaran biasanya saya habiskan untuk mengunjungi nenek saya yang juga tinggal di sebuah kampung --yang pada dasarnya lebih terpencil. Saya tidak bercanda walaupun ini terdengar aneh. Tapi, ya, saya mudik --jika itu bisa dibilang mudik-- dari sebuah kampung menuju sebuah kampung lain yang lebih kampung. Hah!

Nemu bidadari. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar
Nemu bidadari. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar
Jadi begini, dalam sebuah kecamatan yang melingkupi desa saya, terdapat 22 desa di dalamnya. 15 dari kedua puluh dua desa tersebut bisa dibilang berada pada daerah yang agak dalam. Namun terdapat 4 buah desa yang berada di dalam sebuah desa atau terdalam dari yang terdalam. Salah satunya adalah desa tempat nenek saya bermukim, membangun rumah, merawat anak-anaknya, menanam padi, menyiram pohon jambu, serta memagari tanaman ubi yang selalu diinjak oleh para pemancing. Yang mana jarak tempuhnya terbilang jauh dan terjal. Seperti jalan menuju hatimu. Aiishhh.

Jalanan desa Mungguraya. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar
Jalanan desa Mungguraya. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar

Nah, saya sedikit ingin membagikan pengalaman perjalanan (yang saya sebut mudik) dari satu kampung menuju kampung lain itu, serta beberapa hal (yang menurut saya) penting untuk dilakukan sebelum melakukan perjalanan dengan durasi hampir dua jam yang memualkan. Yang jika kemarau, maka cuaca siang harinya akan terlalu panas dan terik. Sementara jika hujan, jalanan lebih seperti comberan yang di gerayangi oleh bebek.

Ketika Langit Menangis. Source : banjar.kalsel.go.id
Ketika Langit Menangis. Source : banjar.kalsel.go.id

Setiap tahun saya rutin melakukan perjalanan ini seorang diri -- meski kadang ibu saya juga ikut. Dan sudah saya lakukan belasan kali (jika dihitung sejak saya kecil dan masih menggunakan sepeda). Bahkan saya pernah harus menjerit menahan buang air besar akibat goncangan dari jalan yang berlubang, berbatu dan amat terjal itu.

Cerita singkat saya di atas agak terdengar seperti penggalan lirik lagu Berita kepada Kawan yang dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade, kan?

Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan.

Tapi izinkan saya mengubah beberapa potong liriknya sedikit menjadi: "Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan. Karena engkau tak duduk di belakangku, Sayang."

Tapi, memang. Itu lagu yang sering saya putar saat diperjalanan, saat duduk di atas jok motor dengan bokong yang penat dan kesemutan. Dengan peci yang kadang-kadang melayang. Karena selain cuaca panas,  angin di sepertiga perjalanan juga akan berembus kencang. Hal itu akibat dari jalan yang saya lalui merupakan lahan persawahan terbuka dengan beberapa pohon kering yang mati.

Seperti yang tertulis beberapa baris di atas, saya biasanya mendengarkan lagu dalam perjalanan. Entah itu lagu jadul atau pun dangdut kekinian yang seksi dan mendesah dari sebuah ponsel yang saya taruh di saku baju koko saya, dengan earphone yang menyumbat telinga hingga suara ngedumel ibu saya yang (kalau) berada di belakang jadi tidak terdengar lagi.

Perjalanan yang agak panjang tanpa hiburan semacam musik yang terus berbicara di telinga, sepertinya adalah hal yang tidak baik, bukan? Apalagi lika-liku dan tekstur jalanan yang terkesan mengocok perut. Bukan dalam arti kiasan yang bermakna tertawa. Tapi lebih mengarah makna yang sebenarnya.

Sementara untuk mencegah kehausan dalam perjalanan, saya biasanya membawa sebotol air es yang sudah saya campur dengan minuman energi yang terlalu identik dengan pawang Merapi. Yang sudah saya siapkan sedari rumah. Saya akan menaruhnya di bagian samping tas, di bagian kantong yang berupa jaring-jaring. Jangan mengira kalau saya orang yang terlalu hemat sampai-sampai air saja saya bawa dari rumah. Hal itu saya lakukan karena di sepanjang jalan menuju rumah nenek, nyaris tidak ada warung. Sekali pun ada, mereka tidak akan akan buka. Ketika lebaran, sebagian besar warung di sekitaran tempat saya akan tutup.

Oh, dan, juga saya tidak pernah makan sebelum melakukan perjalanan menuju tanah yang terjal dan berbatu itu. Atau ke mana pun. Saya memang tidak terbiasa makan sebelum perjalanan untuk mengurangi resiko mual. Karena jika sebelumnya saya makan, tak jarang itu membuat saya semakin bertambah pusing, mual dan saya bahkan mungkin akan muntah. Saya selalu menghindari hal itu. Saya tahu goncangan dari jalanan yang sangat tidak mulus akan menyembulkan apa yang saya makan kembali ke permukaan.

Bisa dibilang, perjalanan yang (cukup) panjang itu akan terbayar lunas ketika saya tiba di rumah nenek. Karena di sepanjang jalan saya akan disambut oleh keadaan alam yang masih domiman hijau, sawah yang rindang, perahu kayu kecil yang terdampar, jembatan dari pohon pinang serta aroma kehidupan yang minim asap kendaraan.

Bajukungan. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar
Bajukungan. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar
Ditambah opor ayam, ketupat kandangan, ayam masak habang serta hidangan lebaran khas Banjar lain yang sudah menanti saya. Yang berjejer rapi dan siap untuk saya santap setelah sebelumnya menahan kekosongan perut tanpa nasi selama beberapa jam. Wah!

Meski pun tidak benar-benar mudik, saya selalu menikmati rutinitas berkunjung ke rumah nenek. Dengan jalanannya yang terjal dan berdebu atau bahkan becek sekali pun. Dengan oleh-oleh berupa agar-agar yang saya bawa dari rumah. Yang tanpa saya sadari telah hancur akibat goncangan dalam perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun