Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Rutinitas Mudik, dari Kampung Menuju Kampung

1 Juni 2019   12:57 Diperbarui: 1 Juni 2019   13:01 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah Desa Pelosok Bernama Mungguraya. Photo by : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar

Setiap tahun saya rutin melakukan perjalanan ini seorang diri -- meski kadang ibu saya juga ikut. Dan sudah saya lakukan belasan kali (jika dihitung sejak saya kecil dan masih menggunakan sepeda). Bahkan saya pernah harus menjerit menahan buang air besar akibat goncangan dari jalan yang berlubang, berbatu dan amat terjal itu.

Cerita singkat saya di atas agak terdengar seperti penggalan lirik lagu Berita kepada Kawan yang dinyanyikan oleh Ebiet G. Ade, kan?

Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan.

Tapi izinkan saya mengubah beberapa potong liriknya sedikit menjadi: "Perjalanan ini, terasa sangat menyedihkan. Karena engkau tak duduk di belakangku, Sayang."

Tapi, memang. Itu lagu yang sering saya putar saat diperjalanan, saat duduk di atas jok motor dengan bokong yang penat dan kesemutan. Dengan peci yang kadang-kadang melayang. Karena selain cuaca panas,  angin di sepertiga perjalanan juga akan berembus kencang. Hal itu akibat dari jalan yang saya lalui merupakan lahan persawahan terbuka dengan beberapa pohon kering yang mati.

Seperti yang tertulis beberapa baris di atas, saya biasanya mendengarkan lagu dalam perjalanan. Entah itu lagu jadul atau pun dangdut kekinian yang seksi dan mendesah dari sebuah ponsel yang saya taruh di saku baju koko saya, dengan earphone yang menyumbat telinga hingga suara ngedumel ibu saya yang (kalau) berada di belakang jadi tidak terdengar lagi.

Perjalanan yang agak panjang tanpa hiburan semacam musik yang terus berbicara di telinga, sepertinya adalah hal yang tidak baik, bukan? Apalagi lika-liku dan tekstur jalanan yang terkesan mengocok perut. Bukan dalam arti kiasan yang bermakna tertawa. Tapi lebih mengarah makna yang sebenarnya.

Sementara untuk mencegah kehausan dalam perjalanan, saya biasanya membawa sebotol air es yang sudah saya campur dengan minuman energi yang terlalu identik dengan pawang Merapi. Yang sudah saya siapkan sedari rumah. Saya akan menaruhnya di bagian samping tas, di bagian kantong yang berupa jaring-jaring. Jangan mengira kalau saya orang yang terlalu hemat sampai-sampai air saja saya bawa dari rumah. Hal itu saya lakukan karena di sepanjang jalan menuju rumah nenek, nyaris tidak ada warung. Sekali pun ada, mereka tidak akan akan buka. Ketika lebaran, sebagian besar warung di sekitaran tempat saya akan tutup.

Oh, dan, juga saya tidak pernah makan sebelum melakukan perjalanan menuju tanah yang terjal dan berbatu itu. Atau ke mana pun. Saya memang tidak terbiasa makan sebelum perjalanan untuk mengurangi resiko mual. Karena jika sebelumnya saya makan, tak jarang itu membuat saya semakin bertambah pusing, mual dan saya bahkan mungkin akan muntah. Saya selalu menghindari hal itu. Saya tahu goncangan dari jalanan yang sangat tidak mulus akan menyembulkan apa yang saya makan kembali ke permukaan.

Bisa dibilang, perjalanan yang (cukup) panjang itu akan terbayar lunas ketika saya tiba di rumah nenek. Karena di sepanjang jalan saya akan disambut oleh keadaan alam yang masih domiman hijau, sawah yang rindang, perahu kayu kecil yang terdampar, jembatan dari pohon pinang serta aroma kehidupan yang minim asap kendaraan.

Bajukungan. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar
Bajukungan. Source : facebook.com/munggu-raya-kec-astambul-kab-banjar
Ditambah opor ayam, ketupat kandangan, ayam masak habang serta hidangan lebaran khas Banjar lain yang sudah menanti saya. Yang berjejer rapi dan siap untuk saya santap setelah sebelumnya menahan kekosongan perut tanpa nasi selama beberapa jam. Wah!

Meski pun tidak benar-benar mudik, saya selalu menikmati rutinitas berkunjung ke rumah nenek. Dengan jalanannya yang terjal dan berdebu atau bahkan becek sekali pun. Dengan oleh-oleh berupa agar-agar yang saya bawa dari rumah. Yang tanpa saya sadari telah hancur akibat goncangan dalam perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun