Lis, aku menulis ini untukmu sewaktu sedang mengunyah kerupuk pedas yang kuminta dari anak kita. Mataku berair ketika kerupuk itu menyentuh bibir bagian atas kiriku yang sariawan.
Aku membenci sariawan. Sangat. Kurasa kau pun tahu itu ketika kita beristirahat di bawah pohon damar yang hingga kini sering kupandangi di seberang jalan sana. Tapi bila kupikir lagi, bukankah memang tidak ada manusia yang menyukai sariawan? Sakitnya membuat orang sulit mengunyah makanan. Aku tahu ini pengenalan cerita yang buruk, Lis. Tapi aku harap kau tetap mau membacanya.Â
Tidak, tidak. Ini bukan tentang aku. Bukan tentang pria empat puluhan bodoh yang rutin mengamati kepergian senja hanya untuk merawat sebuah nostalgia. Yang keliru saat mengatakan padamu bahwa senja hari ini tidak akan membunuhku, atau membuatku merasa kosong saat menatapnya dari atas bangku sepanjang dua meter itu sendirian.
Tapi, ya.. Baiklah. Ini memang tentang aku, tapi tidak banyak. Karena pada dasarnya aku hanya ingin kau tahu apa yang kurasakan saat melihat seorang perempuan tewas di depan mataku, sedangkan aku tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya.
Empat hari yang lalu, saat senja perlahan gugur di belakang punggung sebuah pohon damar setinggi lima puluh meter, dengan batangnya yang silindris abu-abu kecokelatan, saat satu-satunya yang kupikirkan adalah bisa duduk berdua denganmu di atas kursi itu sambil memandang ke arah jalanan yang ia naungi, dan menemukan diri kita masing-masing sedang berteduh dari terik mentari yang dulu pernah mengancam kulit putihmu, juga rambut lurusmu yang sebahu. Aku masih bisa melihatmu, bahkan saat matahari telah redup dan hanya menyisakan cahaya jingga yang berpendar di sela-sela ranting pohon damar.
Bila kuputar memoriku sebentar, seingatku, sekitar dua puluh tahun yang lalu, jalanan itu masih berdebu dan berlubang, belum beraspal dan semulus sekarang. Kafe dan minimarket di seberang jalan itu juga belum di bangun. Hanya ada Warung Soto Mbok Jum dan Toko Kelontong Bang Jon, di mana aku pernah membelikanmu obat merah karena luka di lutut akibat jatuh dari motorku yang butut. Matamu sedikit basah waktu itu, aku tak ingin kau menangis. Lantas aku berpura-pura memarahi motorku, mengumpatnya dengan kata-kata kasar untuk menghiburmu.Â
Dan kita tahu bagaimana akhirnya. Motorku mungkin merajuk. Mogok. Membuat kita berjalan beberapa langkah sebelum merasa lelah dan singgah di bawah naungan pohon damar yang dulu masih belum sebesar sekarang. Pohon damar yang hari itu kupandang. Tapi setidaknya aku berhasil, kau tak jadi menangis. Kau pukul pundakku. Malu. Kemudian kita bercerita banyak tentang sesuatu yang kausukai dan kaubenci di pertengahan hari yang terik. Aku juga. Termasuk tentang sariawan yang di atas tadi kutuliskan.
Lis,
Aku melihat sepasang muda-mudi keluar dari sebuah kafe, sekilas orang-orang di balik pintu kaca tempat itu juga memandangi mereka berdua dengan heran. Keduanya mengalihkan cukup banyak perhatian. Sementara di jalanan, suara mobil dan motor saling bersahutan. Roda-roda besi berlapis karet itu sedang berlalu lalang di bawah langit sore pukul lima lewat tiga puluh delapan. Aku pikir mereka sedang berada dalam sebuah pertengkaran.
Mereka saling memandang dengan raut yang menyimpan kekesalan. Gerak bibir keduanya gagal kubaca. Hanya terdengar gumaman yang menyela detik-detik tanpa klakson kendaraan. Aku berasumsi lelaki yang --aku akui-- cukup tampan tersebut merupakan kekasih dari perempuan itu. Perkiraan kedua, lelaki itu adalah saudara dari sang perempuan. Aku abaikan dugaan terakhir, bahwa lelaki itu merupakan ayah dari perempuan yang panjang rambutnya nyaris sepinggang. Karena mereka berdua memang terlihat masih sepantaran.
Sepuluh meter adalah jarak dari tempat dudukku dengan titik pertengkaran mereka. Dan, Lis, kau mungkin mulai bertanya-tanya di mana letak permasalahan yang ingin kusampaikan. Karena omong kosong yang kutuliskan sudah terlalu panjang.