Kutulis sebuah surat pendek dengan air mata, untuk menanyakan sebuah kabar dari dalam hati yang tak pernah mau menyimpan namaku.
Aku tahu ini tak panjang, dan kemanisannya mungkin tak akan sampai membuatmu tersedak. Malah mungkin akan membuatmu muntah.
Karena aku memang tak pandai berbasa-basi, apalagi membuat selembar omong  kosong lewat puisi yang tersurat hanya untuk menanyakan bagaimana kabar hatimu hari ini.Â
Tapi ini tulus.
Surat ini (lagi-lagi) tentang cinta, rindu dan rasa sakitnya yang tak beranjak dari sela-sela ruang rusuk, dan memilih bisu saat kutanya perihal kau.
Setelah ditulis, akan kubiarkan  ia menggantung pada angin-angin jendela dekat lemari selama beberapa hari. Kadang-kadang aku ucapkan selamat pagi dan bertanya bagaimana keadaannya hari ini.Â
Dia bilang, "Sakit."
"Tak apa," kataku.Â
"Aku mengerti, cinta dan rasa sakit memang seharusnya tidak kita nikmati seorang diri. Dan untuk itulah kau kuciptakan"
Seusai malam-malam yang ragu, surat ini akan kukirimkan padamu, lewat kotak pesan berwarna merah muda yang sudah berkarat, dengan stiker hati tak utuh yang menempel di samping kirinya.Â
Tak ada hal lain yang bisa kulakukan, selain menunggu dan berharap surat itu akan sampai ke rumahmu dengan selamat.Â