Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Penyesalan dalam Sebuah Botol

22 Juni 2019   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2019   18:30 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu tahu, saya tidak mengerti banyak tentang penyesalan. Atau jika kamu bertanya pada saya siapa manusia yang paling menyesal di bumi ini, tentu saya tidak tahu. Setidaknya sampai sebuah surat botol dari seseorang di masa yang cukup lampau itu saya temukan di dekat pohon mahoni yang hampir mati.

Hari ini, setelah kegiatan-kegiatan dan rutinitas saya yang kurang penting, ketika saya sedang duduk berdua dengan bayangan saya sendiri di sebuah kedai dengan model lesehan, gambaran yang juga sama tidak pentingnya ikut muncul; bagaimana jika setelah keluar dari kedai ini tanpa sengaja saya menginjak ekor ular, kemudian hewan melata itu reflek menggigit saya dan menyuntikan bisanya ke dalam pembuluh darah saya, atau bagaimana jika di persimpangan nanti saya diberhentikan oleh seorang polisi karena saya tidak mengenakan helm, dan spion saya yang cuma satu.

Bahkan, saya lebih takut pada kejadian-kejadian yang absurd. Misalkan polisi itu menilang saya hanya karena saya tidak memiliki seorang kekasih. Aneh dan benar-benar tidak penting.

Tapi mungkin kamu perlu tahu, kalau saya ini memang mudah sekali  diserang oleh kekhawatiran yang berlebih akan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu saya khawatirkan. 

Sejak kecil saya selalu takut bila sepatu baru saya akan diinjak teman. Lalu setelah dewasa, kekhawatiran itu tumbuh menjadi kegelisahan jika adik saya lebih dulu naik ke pelaminan. Sementara saya bertambah tua, kaku, dengan perut buncit dan wajah yang jerawatan. Saya takut masih membujang sedang dia sudah beranak pinak. Lalu saya akan menjadi seorang Om yang kelak hanya mampu mengajari anaknya cara untuk mengatasi rasa kesepian.

Saya menghabiskan dua cangkir kapucino saset yang saya pesan di kedai itu. Dengan lima tusuk pentol bakar dan seporsi nasi goreng biasa. Karena seseorang dari dalam diri saya bilang bahwa saya tidak lagi layak untuk mendapatkan sesuatu yang spesial. Jadi, barangkali nasi goreng masuk ke dalam kategori ini.

Setelah kenyang saya melanjutkan perjalanan ke arah tujuan yang sebenarnya tidak ada. Saya cukup kaya untuk menghambur-hamburkan uang dan membeli bahan bakar demi pergi ke banyak tempat tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Hanya saja saya merasa terlalu kedinginan untuk melewati udara malam ini sendirian. Jadi, saya memutuskan behenti di taman kota. 

Di tengah-tengah taman, ada sebuah gerbang  masuk sempit menuju sebuah panggung kecil yang bernama Mingguraya. Orang sekitar menyebutnya sebuah titik kumpul sesama seniman dan penyair lokal, di mana biasanya mereka mengadakan acara baca puisi dan penampilan band akustik sebulan tiga kali. Kebetulan, malam ini adalah malam baca puisi yang saya maksud.

puisi dalam aksi (mingguraya) - Banjarmasin Post
puisi dalam aksi (mingguraya) - Banjarmasin Post
Jika saja umur hubungan kita panjang, saya ingin menceritakan hal ini padamu, mengenai sejarah dan makna tempat ini. Beberapa ceritanya mungkin agak ngasal dan tidak masuk akal. Terus terang saya hanya ingin berbasa-basi agar bisa membuatmu tertawa. 

Kemudian saya juga ingin membandingkan kilauan matamu dengan warna lampu air mancurnya yang ternyata sedikit kalah indah. Saya mencintai tempat ini, kata saya. Tapi kemudian akan saya bilang bahwa saya lebih mencintaimu.

Taman Air Mancur Mingguraya (dokpri)
Taman Air Mancur Mingguraya (dokpri)
Saya mencari tempat yang remang-remang untuk duduk. Lebih tepatnya untuk bersembunyi dari polisi aneh yang ada di dalam khayalan saya. Untuk jaga-jaga, siapa tahu dia juga berada di tempat ini dan tiba-tiba bernafsu untuk menangkap saya karena saya datang ke tempat ini seorang diri. Seolah-olah di kepalanya (atau di kepala saya) menjadi seorang jomlo adalah suatu tindakan kriminal.

Seorang perempuan yang tidak terlalu cantik naik ke atas panggung. Namanya terdengar samar-samar karena riuh tepuk tangan juga suara lelaki empat puluhan yang sedang merayu gadis --atau mungkin janda-- penunggu warung kopi yang jaraknya hanya berkisar sebelas meter dari tempat duduk saya.

Perempuan di atas panggung itu mulai meraba larik demi larik dengan penghayatan yang seadanya dan mimik yang datar. Persis seperti saya ketika kamu meminta saya untuk membacakan sebuah puisi yang saya dapat dari internet.

Dia membacakan sebuah puisi tentang luka di perut bumi yang disebabkan oleh manusia hingga menyisakan penyesalan terhadap banyak bencana yang muncul sesudahnya.

Jadi, saya pun mulai mengira-ngira kalau penyesalan mungkin semacam menyerahkan uang duaribuan kepada tukang parkir yang  menghina motor saya. Lebih parah, penyesalan bisa berupa bayang-bayang  seorang perempuan yang berdiri menunggu saya di sepanjang trotoar sambil membuka lengan, namun saya malah menangis karena tidak memiliki tubuh untuk dipeluk.

Semua orang bertepuk tangan. Saya terdiam. Hening sejenak sebelum hati saya kembali mengajak untuk beranjak. Saya berada di sana tidak lebih dari tiga puluh menit. Saya kembali ke tempat parkiran motor dan memandang sinis pada tukang parkir yang pernah mencibir motor saya.

Setelah uang dua ribu saya berikan, saya meninggalkannya pulang tanpa sepatah kata. Membuat saya mengingat langkah paling gegabah saat mimilih untuk pamit dari hadapanmu. Hujan yang jatuh dari bawah keningmu, airmata yang seharusnya saya jumputi dan kembalikan. Sekarang saya menangis dan seharusnya kamu melihat semua ini.

"Kita impas!" barangkali begitu kata-katamu.

Di atas jok motor yang basah dan berlubang, saya kembali menelurkan persepsi-persepsi baru setelah melihat dua buah tiang listrik yang dihubungkan oleh banyak kabel, tetapi saling acuh, tidak saling bicara. Serta sebuah pohon yang saya tidak tahu jenisnya. Yang sedang kesepian di bawah sorot redup lampu jalanan.

Jadi, ini tentang bentuk penyesalan yang barangkali bermacam-macam. Mungkin mirip ketika saya memilih untuk meninggalkanmu, tapi tidak tahu harus bagaimana setelahnya. Lalu hari-hari saya hanya diisi oleh video motivasi seorang berkepala botak dari sebuah kanal Youtube. Juga ketika saya menengok ke arah ban belakang motor, dan bertanya-tanya kenapa bentuk ban tidak dibikin segitiga atau kotak. Saya membenci lingkaran atau bulat. Karena itu akan mengingatkan saya pada wajahmu.

Setelah pulang saya langsung berbaring di atas sebuah kasur yang menyiksa punggung saya karena kerasnya mirip jalanan yang barusan saya lalui. Kemudian saya baca lagi isi surat itu. Bertanggal 21 Desember dengan tahun yang saya rahasiakan. Ditulis untuk mengenang kita, dan dikubur di dekat pohon mahoni untuk melupakanmu. Tapi dibongkar kembali sebulan yang lalu, saat saya kebetulan membawa cangkul untuk mencari cacing.

Isi dari surat itu tidak penting. Hanya omong kosong saya, dari bagaimana bisa bertemu, satu tahun yang bahagia, hingga kenapa saya menyerah dan memilih untuk berpisah denganmu.

Keangkuhan saya di akhir kalimat penutup surat dan bagaimana penyesalan selalu pandai datang terlambat. Jadi beginilah penyesalan; ketika saya sadar, ternyata saya sudah kehilanganmu.

Banjarbaru, Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun