Daun-daun berbisik tentang kabar buruk hari esok. Tentang rumah dan tubuh tumbuhnya yang akan jadi tiada. Mungkin akan menjadi lubang galian yang menganga, atau menjadi beton dan besi.
Dahulu, di belakang rumahku, di kebun ayah masih ada petakan tanah berjejal pohon. Capung dan kupu-kupu dari tempat yang entah, datang dan memamerkan warna di tepian semak atau di atas rerantingan. Sementara sisanya bersembunyi.
Bisikan dedaunan sampai ke telinga ranting yang mengadu pada batang hingga berita itu membuat akar khawatir.
Diskusi serius di atas sebidang tanah; ranting, batang dan akar memilih untuk menyatu sampai desakan sebuah proyek tak bisa ditawar. Sebagian besar daun ikut, beberapa sisanya memilih menjadi layu dan menjatuhkan diri: menganggapnya sebagai kematian yang terhormat.
Dahulu, di belakang rumahku, di kebun ayah pohon masih banyak. Batangnya kokoh dililit tali aduk dan ban mobil bekas membentuk ayunan yang dipasungnya. Sewaktu aku kecil, ayah mendorong ayunan itu  dengan senyuman. Aku tertawa gembira. Pepohonan juga. Kita semua sama.
Diskusi ayah bersama dua orang berjas di dalam rumah yang tak cukup luas -dengan tujuan dan harga yang telah disepakati.
Pohon yang tersisa menangis. Aku bersedih. Cuma ayah yang gembira. Setelah menjadi dewasa, aku dan ayah tidak lagi sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H