"Memangnya adik habis dari mana, kalau boleh tahu?"
"Saya habis pulang kerja, Pak."
"Oohh. Ngomong-ngomong, adik kenapa dari tadi bapak lihat selalu memperhatikan anak bapak?" tanyanya dengan nada intens juga sedikit tertawa. Sontak pertanyaan lelaki itu membuat aku terkejut sekaligus malu. Aku pun mencoba untuk menahan diri agar tak terlihat gugup di hadapan lelaki ini.
"Wanita di seberang jalan itu anak bapak?" tanyaku balik.
"Iya dik. Kamu kenal sama anak bapak?"
"Saya tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, Pak. Tapi sepertinya saya tidak mengenalnya. Kenapa bapak tidak membawanya berteduh di teras ini juga?"
"Hhmmp," lelaki itu merespon tanya yang kucerca dengan tawa kecilnya.
"Ada apa, Pak?"
"Sebenarnya, anak bapak itu memang keras kepala. Bahkan para tetangga beranggapan bahwa dia sudah gila. Namanya Fia. Dia sudah seperti itu sejak lima bulan lalu, ketika suaminya dinyatakan hilang dalam pendakian menuju puncak Gunung Lawu."
Pernyataan laki-laki itu membuat hatiku ikut menyesal juga pilu, sekaligus menimbulkan beberapa pertanyaan baru di kepalaku. Aku terdiam sejenak sebelum kembali bertanya dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu.
"Lalu apa yang sedang anak bapak lakukan di bawah pohon cemara dalam hujan di sana?" sambungku.