Seperti yang pernah kubisikan di telingamu, "aku lebih suka hatimu ketimbang hidungmu yang mancung itu."
"Tapi bukankah kamu pernah bilang, bahwa alasan kamu menyukaiku adalah karena hidungku yang mancung ini?" sahutmu.
"Tidak, itu bukan cinta, melainkan nafsu"
"Jadi kamu membohongiku?"
"Tidak juga."
"Maksud kamu?" Tanyamu semakin penasaran.
"Aku menyukai hatimu di atas semua laki-laki lain yang pernah memuja fisikmu, pada awalnya aku menyukaimu karena nafsu sebelum aku menyadari kesementaraan cantik parasmu. Maksudku aku jatuh cinta pada apa yang ada di dalam sini, tanpa mengurangi kadarnya sewaktu nanti kita menua bersama. Wajahmu akan keriput, akan ada garis-garis kecil di sekitaran mulut dan hidungmu, tulangmu akan merenta. Namun jika yang kucintai adalah hatimu, maka cintaku akan abadi."
Kamu terhenyak dan menatap mataku dengan pekat, bodohnya aku karena masih canggung ketika melihatmu dari dekat. Perbincangan sederhana di sore yang dingin itu terasa hangat dengan dua buah cangkir kopi pahit favoritmu serta roti isi yang kutelan bulat-bulat. Berada di sampingmu benar-benar membuatku sekarat.
Aku sempat ragu akan kusambung dari mana pembicaraan kita itu, hingga kuberanikan membuka suara untuk kesekian kalinya, meski dengan tutur yang terbata.
"Di hadapanmu aku adalah orang paling skeptis di dunia," bukaku lagi.
"Mengapa demikian?" sahutmu.
"Aku takut jika apa yang tak pernah kuungkapkan akan membuat kita saling berjauhan."
"Hemmmm? Kamu tahu, terkadang apa yang kamu uraikan tidak bisa kuartikan," jawabmu sembari mengumbar seuntai senyuman dengan latar belakang hujan.
Pada akhirnya kita pun hanya bisa mengisi suasana dengan tertawa. Kamu adalah kamu, dan aku adalah aku. Aku mampu mencintaimu dan hatimu, namun apa yang kuyakini adalah hal yang belum pernah kamu tahu. Â Hati kita disatukan oleh cinta namun dikerai oleh agama.
Pertemuan kita di dekat gereja setahun silam, harusnya kukatakan di sela-sela pertemuan yang setiap minggu kita sulam, sebelum rasa yang kita saling jaga semakin merajam. Semakin aku menatapmu dalam, rasa takut kehilanganmu memalun gaduh hatiku. Kita tak akan bisa keriput bersama dengan paham yang beda.
Untuk perempuan berhati baik dengan hidung mancungnya, kamu adalah apa yang selama ini ingin kutulis dalam bab terakhir dari buku 'Pencarian Wanita', namun epilog indah bersamamu adalah hal paling tabu jika kujabarkan dengan kata. Kita tak akan bisa menua bersama, menyaksikan guratan-guratan di sekitaran wajah berdua. Tapi aku masih sebagai laki-laki yang menyukai hatimu ketimbang hidungmu, yang dengan setia mengingat momen-momen pertemuan kita di dekat gereja setiap minggu, sebagai teman penyeruput kopi pahitmu, atau sebagai seseorang yang pernah bermimpi di masa depan akan menyemir uban di kepalamu juga yang mengusapkan bedak pada keriput di pipimu. Kamu adalah kamu, aku adalah aku. Kita dipertemukan dalam sebuah perbedaan.
Banjarbaru, 18 Juli 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H