"Aku takut jika apa yang tak pernah kuungkapkan akan membuat kita saling berjauhan."
"Hemmmm? Kamu tahu, terkadang apa yang kamu uraikan tidak bisa kuartikan," jawabmu sembari mengumbar seuntai senyuman dengan latar belakang hujan.
Pada akhirnya kita pun hanya bisa mengisi suasana dengan tertawa. Kamu adalah kamu, dan aku adalah aku. Aku mampu mencintaimu dan hatimu, namun apa yang kuyakini adalah hal yang belum pernah kamu tahu. Â Hati kita disatukan oleh cinta namun dikerai oleh agama.
Pertemuan kita di dekat gereja setahun silam, harusnya kukatakan di sela-sela pertemuan yang setiap minggu kita sulam, sebelum rasa yang kita saling jaga semakin merajam. Semakin aku menatapmu dalam, rasa takut kehilanganmu memalun gaduh hatiku. Kita tak akan bisa keriput bersama dengan paham yang beda.
Untuk perempuan berhati baik dengan hidung mancungnya, kamu adalah apa yang selama ini ingin kutulis dalam bab terakhir dari buku 'Pencarian Wanita', namun epilog indah bersamamu adalah hal paling tabu jika kujabarkan dengan kata. Kita tak akan bisa menua bersama, menyaksikan guratan-guratan di sekitaran wajah berdua. Tapi aku masih sebagai laki-laki yang menyukai hatimu ketimbang hidungmu, yang dengan setia mengingat momen-momen pertemuan kita di dekat gereja setiap minggu, sebagai teman penyeruput kopi pahitmu, atau sebagai seseorang yang pernah bermimpi di masa depan akan menyemir uban di kepalamu juga yang mengusapkan bedak pada keriput di pipimu. Kamu adalah kamu, aku adalah aku. Kita dipertemukan dalam sebuah perbedaan.
Banjarbaru, 18 Juli 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H