Konflik Agraria dapat melibatkan kekerasan fisik, pemenjaraan, hingga penembakan dan pembunuhan. Pada rentang tahun 2015-2022, terjadi sebanyak 2.710 Konflik Agraria dengan implikasi pada 5.8 juta hektar tanah dan 1.7 juta keluarga. Lebih lanjut, ditemukan kriminalisasi dan penangkapan terhadap 1.615 warga. 77 tertembak dan 69 meninggal dunia. (CNN Indonesia, 24 September 2023).
Konflik Agraria dapat terlihat dalam triase Pemerintah-Masyarakat-Swasta. Semisalnya, pada tahun 2012, Konflik Agraria terjadi  antara pihak PT. Jambi Agro Wijaya (PT. JAW) dan Gapoktan Desa Baru dan Desa Lubuk Kepayang dan Kelompok Petani Mekar Jaya. Konflik ini dilatari persengketahan 3000 hektar lahan dan destruksi kebun yang berujung dengan terbakarnya 62 unit rumah pekerja dan 15 hektar lahan kebun perusahaan. Konflik ini diduga terjadi karena kesalapahaman terkait luasan HGU perusahaan. Dimana tanah yang dianggap masih masuk dalam HGU, ditanami sawit oleh warga yang menganggap bahwa tanah tersebut adalah tanah kosong. Alhasil, tanaman warga pun dirobohkan. (Sutaryono Dkk, 2012)
Selain berhadapan dengan swasta, masyarakat juga kerap menghadapi Konflik Agraria dengan pemerintah. Semisalnya sengketa lahan antara TNI AU dan masyarakat Wates. Konflik ini telah terjadi jauh pada masa awal kemerdekaan dimana TNI AU yang dulunya bernama AURI dituding mengklaim lahan warga/adat. Awalnya, di Desa Beber pada 1942, Jepang membangun pangkalan militer dan udara. Masyarakat Wates yang merasa khawatir, memilih untuk pindah. Namun setelah merdeka pada 1945, masyarakat Wates kembali ke tanahnya namun sayangnya tanah tersebut diklaim oleh AURI. (BBC.com, 2023).
Selain berhadapan dengan swasta dan pemerintah, masyarakat juga mesti menghadapi mafia tanah yang bekerjasama dengan para oknum. Mereka melakukan pemalsuan dokumen, penggandaan, mendirikan bangunan di atas area tanpa izin milik, intimidasi, dan kongsi dengan oknum aparat (Ridwan, 2025).
Melihat permasalahan tersebut, Konflik Agraria di Indonesia dapat dikatakan timbul melalui ketiadaan sertifikat kepemilikan dan penggunaan tanah, bisa juga karena penyerobotan di luar patok penggunaan lahan, hingga adanya permainan dalam lingkup pengelolaan tanah itu sendiri.
Metode penyelesaian yang dapat ditempuh adalah dengan menghadirkan kejelasan kepemilikan dan hak penggunaan atas lahan yang dapat diakses semua kalangan. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi hari ini, optimalisasi peta pada situs Badan Bank Tanah menjadi opsi yang menarik.
Badan Bank Tanah adalah badan bentukan pemerintah pusat yang memiliki wewenang khusus dalam reforma agraria. Dalam situsnya, ia mencantumkan peta digital yang sayangnya sekedar menandai lahan-lahan yang berada dalam penguasaan lembaga ini. Padahal, peta ini dapat dimaksimalkan untuk memvisualisasikan seluruh hak atas tanah yang ada di Indonesia.
Dalam pandangan penulis, peta itu seyogyanya memuat fitur yang menandai, mengarsir, mengklasifikasi, serta menunjukkan lokasi tanah berserta hak yang berdiri di atasnya. Dengan begini, masyarakat dapat melihat dengan jelas apakah tanah yang mereka klaim mengalami tumpang tindih atau tidak. Hal ini akan berimplikasi pada rencana hidup masyarakat itu sendiri, yang akan berkaitan dengan kesejahteraan mereka di masa depan.
Kejelasan hak melalui peta ini juga dapat mereduksi permainan 'tanah' oleh kelompok-kelompok besar. Pergerakan atau pergeseran kepemilikan terhadap sejumlah lahan luas dapat dipantau. Sehingga, segala bentuk kecurigaan terhadap bangunan yang muncul secara tiba tiba, dapat ditelusuri lebih lanjut.
Untuk melakukan optimalisasi ini, Badan Bank Tanah perlu bekerja sama dengan Kementerian ATR/BPN. Lembaga ini menjadi pemasok data untuk kebutuhan penyusunan peta, dan pengumpulan data untuk membangun data base. Data-data dimaksud dapat berupa SHM, HGU, HPL, dan penentuan koordinat lapangan, serta tidak terbatas pada data dan keterangan lainnya. Seperti tanah adat, tanah terlindung, dan konsensi lahan Tambang.
Data ini kemudian dimanfaatkan dan diubah menjadi informasi terhadap hak atas tanah. Sertifikat, surat keterangan lainnya, ditambah dengan koordinat tanah menjadi basis untuk melakukan visualisasi arsir pada peta.
Untuk menciptakan ketersinambungan dan kebaharuan pada peta, sebaiknya dilakukan peremajaan data arsiran dan kepemilikan melalui update database. Hal ini dilakukan bekerjasama dengan Kementerian ATR/BPN. Sehingga, progres penyelesaian tanah sengketa dapat dilihat secara periodik..
Dikarenakan banyaknya data beserta jenisnya, maka pembuatan dan pengarsiran peta dapat dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pengarsiran pada peta dilakukan untuk tanah yang dikelola oleh pemerintah. Selain dimulai secara internal, pengarsiran ini dilakukan untuk memberikan kejelasan pembangunan pada masyarakat terkait proyek apa yang sedang digarap pemerintah di suatu lahan. Jika masyarakat mendapati arsiran peta menindih tanah yang dia miliki secara sah, maka ia dapat melakukan pelaporan pada pihak berwenang.
Pelaporan akan lebih elok, dan menghindari adanya kericuhan ketika lahan akan dieksekusi sebagaimana berbagai kejadian sebelumnya di Indonesia. Pengarsiran dan pemetaan tahap pertama mencakup tanah tanah yang dilindungi dan dalam pengelolaan masyarakat adat.
Kedua, pengarsiran dilakukan untuk pihak swasta yang mengadakan proyek skala besar. Seperti produksi hasil tambang, pabrik, pertanian dan perkebunan, dan lainnya. Pengarsiran ini juga memiliki tujuan yang sama. Menghindari konflik saat melakukan eksekusi lahan dan memberikan kejelasan atas hak kepemilikan dan pengelolaan tanah.
Baru saja kemarin, pembangunan pagar laut ditemukan di wilayah Tangerang. Proyek sebesar itu baru viral dan disadari. Dan dalam momentum ini, Menteri Nusron memberikan apresiasi terhadap masyarakat yang melakukan penelusuruan lebih lanjut terhadap kasus ini melalui aplikasi BHUMI ATR/BPN. (Darmawan dan Adhi, 2025). Hal ini kemudian menjadi bukti betapa pentingnya keterbukaan data pada masyarakat. Optimalisasi peta Badan Bank Tanah juga diharapkan memberikan masyarakat kesempatan untuk bersuara dan melakukan pemantauan terhadap pembangunan di sekitarnya.
Ketiga, pengarsiran dilakukan untuk menandai tanah milik dan yang dikelola masyarakat. Pengarsiran ini berada dalam tahap akhir sebab SHM yang dipegang masyarakat sangatlah banyak dan diperlukan penandaan koordinat yang tepat. Mepetnya bangunan antara satu dan lainnya, serta ukuran tanah yang tidak begitu besar, membuat pengarsiran harus dilakukan dengan lebih detail.
Mungkin akan muncul pertanyaan; jika pemetaan tanah masyarakat dilakukan di akhir, bagaimana mereka bisa melayangkan keberatan pada tanah milik dan kelola pemerintah serta swasta, bukankah tanah mereka belum diarsir pada peta?
Tentu, masyarakat tetap bisa melakukan pelaporan. Sebab, pada tahap pertama dan kedua masyarakat dapat melihat bentang tanah yang dimiliki dan kelola oleh pemerintah maupun swasta. Mereka bisa melakukan pencocokan secara mandiri sebelum melayangkan keberatan. Hal Ini memberikan masyarakat kesempatan melapor meskipun pengarsiran peta belum menyelesaikan tahap akhir.
Dengan pemetaan yang berbasis pada data lahan dan koordinat yang jelas, maka Konflik Agraria semacam PT.JAW versus masyarakat dapat diselesaikan dengan lebih cepat tanpa harus menunggu pengukuran ulang terhadap HGU perusahaan.
Ujung konflik agraria pun dapat dilihat dengan jelas mengenai siapa yang berhak atas kepemilikan lahan. Serta, konflik dengan mafia tanah pun dapat dihindari pada saat pengarsiran. Sebab akan terdeteksi adanya penggandaan sertifikat atas nama berbeda di lahan yang sama.
Setiap lahan dapat diarsir dengan tanda berbeda, semisalnya warna primer untuk HGU (Kuning), HGB (Biru), dan SHM (Merah). Ketika terjadi persinggungan antara satu dan lainnya, akan menghasilkan warna sekunder pada peta seperti Oranye, Ungu, dan Hijau. Dengan begini, masyarakat dapat lebih mudah menandai dan mengetahui adanya potensi sengketa lahan di kemudian hari.
Akhir kata, Konflik Agraria takkan pernah usai. Namun usaha dalam penyelesaiannya pun demikian, akan selalu dilakukan. Permasalah ini tidak dapat ditangani semudah meniriskan mi instan. Diperlukan kerjasama antara lembaga satu dan lainnya. Kesungguhan pemerintah dalam melakukan pemetaan terhadap hak-hak atas tanah mengimplikasin kebenaran dari niat penyelesaian Konflik Agraria. Pemetaan ini barang kali akan memakan waktu yang panjang dan sulit, namun tidak mustahil untuk dilakukan. Semoga dengan adanya pemetaan yang terbuka bagi semua orang, kejelasan atas hak tanah dapat diselesaikan dengan lebih cepat. Serta kegiatan kegiatan yang muncul secara 'tiba-tiba' dapat mudah diketahui oleh masyarakat tanpa perlu menghadapi permainan licik dari oknum-oknum.
Daftar Pustaka
BBC.com, 2023. "Ini tanah nenek moyang kami, bukan tanah TNI AU' -- Puluhan tahun sengketa lahan dengan militer, warga di Majalengka lakukan 'perlawanan kultural". Dapat Diakses pada: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c1w938pxvgjoÂ
CNN Indonesia, 2023. Data KPA: 2.710 Konflik Agraria Selama 9 Tahun Pemerintahan Jokowi. Dapat diakses pada: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230924150644-20-1003085/data-kpa-2710-konflik-agraria-selama-9-tahun-pemerintahan-jokowi.Â
Darmawan dan Adhi, 2025. "Perjalanan Kasus Pagar Laut Tangerang dari Awal" https://www.kompas.com/tren/read/2025/01/23/050000065/perjalanan-kasus-pagar-laut-tangerang-dari-awal-ditemukan-sampai-shgb?page=all.
Ridwan, 2025. Kenali Mafia Tanah dan Cara Melindungi Hak Anda. https://sultra.atrbpn.go.id/berita/kenali-mafia-tanah-dan-cara-melindungi-hak-andaÂ
Sutaryono Dkk, 2012. Perjuangan Untuk Menjadi Bagian Dari Proses Perubahan Agraria Yang Menguntungkan (Studi Kasus Perkebunan Sawit Di Kabupaten Sarolangun, Jambi). Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21. Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Rahmadani dan Imanuddin, 2022. "Dinamika Perkembangan Reforma Agraria Di Indonesia". Jurnal Kajian Agraria dan Kedaulatan Pangan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI