Data ini kemudian dimanfaatkan dan diubah menjadi informasi terhadap hak atas tanah. Sertifikat, surat keterangan lainnya, ditambah dengan koordinat tanah menjadi basis untuk melakukan visualisasi arsir pada peta.
Untuk menciptakan ketersinambungan dan kebaharuan pada peta, sebaiknya dilakukan peremajaan data arsiran dan kepemilikan melalui update database. Hal ini dilakukan bekerjasama dengan Kementerian ATR/BPN. Sehingga, progres penyelesaian tanah sengketa dapat dilihat secara periodik..
Dikarenakan banyaknya data beserta jenisnya, maka pembuatan dan pengarsiran peta dapat dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, pengarsiran pada peta dilakukan untuk tanah yang dikelola oleh pemerintah. Selain dimulai secara internal, pengarsiran ini dilakukan untuk memberikan kejelasan pembangunan pada masyarakat terkait proyek apa yang sedang digarap pemerintah di suatu lahan. Jika masyarakat mendapati arsiran peta menindih tanah yang dia miliki secara sah, maka ia dapat melakukan pelaporan pada pihak berwenang.
Pelaporan akan lebih elok, dan menghindari adanya kericuhan ketika lahan akan dieksekusi sebagaimana berbagai kejadian sebelumnya di Indonesia. Pengarsiran dan pemetaan tahap pertama mencakup tanah tanah yang dilindungi dan dalam pengelolaan masyarakat adat.
Kedua, pengarsiran dilakukan untuk pihak swasta yang mengadakan proyek skala besar. Seperti produksi hasil tambang, pabrik, pertanian dan perkebunan, dan lainnya. Pengarsiran ini juga memiliki tujuan yang sama. Menghindari konflik saat melakukan eksekusi lahan dan memberikan kejelasan atas hak kepemilikan dan pengelolaan tanah.
Baru saja kemarin, pembangunan pagar laut ditemukan di wilayah Tangerang. Proyek sebesar itu baru viral dan disadari. Dan dalam momentum ini, Menteri Nusron memberikan apresiasi terhadap masyarakat yang melakukan penelusuruan lebih lanjut terhadap kasus ini melalui aplikasi BHUMI ATR/BPN. (Darmawan dan Adhi, 2025). Hal ini kemudian menjadi bukti betapa pentingnya keterbukaan data pada masyarakat. Optimalisasi peta Badan Bank Tanah juga diharapkan memberikan masyarakat kesempatan untuk bersuara dan melakukan pemantauan terhadap pembangunan di sekitarnya.
Ketiga, pengarsiran dilakukan untuk menandai tanah milik dan yang dikelola masyarakat. Pengarsiran ini berada dalam tahap akhir sebab SHM yang dipegang masyarakat sangatlah banyak dan diperlukan penandaan koordinat yang tepat. Mepetnya bangunan antara satu dan lainnya, serta ukuran tanah yang tidak begitu besar, membuat pengarsiran harus dilakukan dengan lebih detail.
Mungkin akan muncul pertanyaan; jika pemetaan tanah masyarakat dilakukan di akhir, bagaimana mereka bisa melayangkan keberatan pada tanah milik dan kelola pemerintah serta swasta, bukankah tanah mereka belum diarsir pada peta?
Tentu, masyarakat tetap bisa melakukan pelaporan. Sebab, pada tahap pertama dan kedua masyarakat dapat melihat bentang tanah yang dimiliki dan kelola oleh pemerintah maupun swasta. Mereka bisa melakukan pencocokan secara mandiri sebelum melayangkan keberatan. Hal Ini memberikan masyarakat kesempatan melapor meskipun pengarsiran peta belum menyelesaikan tahap akhir.
Dengan pemetaan yang berbasis pada data lahan dan koordinat yang jelas, maka Konflik Agraria semacam PT.JAW versus masyarakat dapat diselesaikan dengan lebih cepat tanpa harus menunggu pengukuran ulang terhadap HGU perusahaan.
Ujung konflik agraria pun dapat dilihat dengan jelas mengenai siapa yang berhak atas kepemilikan lahan. Serta, konflik dengan mafia tanah pun dapat dihindari pada saat pengarsiran. Sebab akan terdeteksi adanya penggandaan sertifikat atas nama berbeda di lahan yang sama.