Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku masyarakat dan pengetahuan kemasyarakatan dalam perjalanannya banyak berinteraksi dengan ilmu ilmu lain, termasuk ilmu hukum. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang berlaku artinya isi dan bentuknya berubah ubah menurut waktu dan tempat, dengan bantuan faktor kemasyarakatan, ruang lingkup, objek atau tujuan sosiologi hukum meliputi pola tingkah laku anggota masyarakat.
2. Hukum dan Kenyataan MasyarakatÂ
Hukum merupakan suatu yang sangat penting dalam masyarakat, karena tanpa hukum akan terjadi kekacauan, dan sebaliknya tanpa masyarakat maka hukum tidak ada artinya. Agar suatu hukum bisa responsif maka hukum harus dibentuk berdasarkan dari kenyataan yang hidup dari masyarakat.
Hubungan antara hukum dan masyarakat sangatlah erat, karena hukum senantiasa dipengaruhi oleh proses interaksi sosial sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi intensitas interaksi dan hubungan sosial, maka semakin tinggi pula tingkat penggunaan hukum untuk melancarkan proses interaksi sosial.
3. Yuridis Empiris dan Yuridis NormatifÂ
Yuridis Empiris, merupakan pendekatan dalam penelitian hukum yang mengedepankan pengamatan langsung terhadap penerapan hukum di masyarakat. Metode ini memanfaatkan data empiris yang diperoleh melalui berbagai teknik seperti wawancara, survei dan observasi.
Yuridis Normatif, merupakan bentuk kajian dimana kajian ini memandang hukum sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas kebijakan dan hukum yang ada serta memberikan masukan bagi reformasi hukum agar lebih sesuai dengan realitas sosial.
4. Madzhab Pemikiran Hukum (Positivisme)
Positivisme dari kata "positif" yang mana istilah ini diartikan sebagai "teori yang bertujuan untuk menyusun fakta-fakta yang teramati". Positivisme merupakan pemahaman yang berakar dari filsafat empirisme. Jadi Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme terhadap pemikiran hukum terbagi menjadi dua yaitu pragmatisme dan positivisme logis. kedua hal tersebut mempunyai pengaruh besar untuk teori hukum modern tetapi dalam sudut pandang yang berbeda.
5. Madzhab Pemikiran Hukum (Sosiological Jurisprudence)
*Sociological Jurisprudence merupakan salah satu aliran dalam Filsafat Hukum. Aliran ini memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.
*Aliran Sociological Jurisprudence dengan tegas memisahkan antara hukum positif (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law).
*Mazhab sosiologis yang pada dasarnya menyatakan bahwa hukum sebagai suatu norma sosial tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat karena terdapat keterkaitan yang erat antara hukum dan masyarakat.
* Positivisme Hukum mengutamakan akal, sementara Mazhab Sejarah lebih mementingkan pengalaman. Dalam hal ini Aliran Sociological Jurisprudence menganggap akal dan pengalaman sama-sama penting.
6. Madzhab Pemikiran Hukum (Living Law dan Utilitarianisme)
Living Law dan Utilitarianisme adalah dua madzhab pemikiran hukum yang menawarkan pendekatan berbeda dalam memahami hukum. Living Law melihat hukum sebagai refleksi dari praktik sosial dan budaya masyarakat, sementara Utilitarianisme menilai hukum berdasarkan manfaat yang diberikan kepada masyarakat. Kedua teori ini memiliki relevansi yang signifikan dalam konteks hukum modern, dengan penerapan yang berbeda di negara-negara dengan latar belakang hukum yang berbeda.
Living Law dan Utilitarianisme menawarkan pendekatan yang berbeda namun sama- sama berharga dalam memahami dan mengembangkan hukum. Living Law menekankan bahwa hukum harus hidup dan berkembang bersama masyarakat, sedangkan Utilitarianisme menilai hukum berdasarkan manfaat yang dihasilkannya untuk kesejahteraan sosial. Keduanya memberikan kontribusi penting dalam teori dan praktik hukum modern, terutama dalam konteks pluralisme hukum dan kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
7. Pemikiran Emile Durkheim
* Emile Durkheim adalah seorang sosiolog terkenal dari perancis. Durkheim terkenal dengan teorinya yang disebut dengan fakta sosial. Menurutnya, fakta sosial adalah cara bertindak baku maupun tidak yang dapat Berperilaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual. Durkheim mengemukakan mengenai solidaritas sosial yang kemudian ia bagi menjadi solidaritas mekanik dan solidaritas organic. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dengan solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif. Karena masyarakat seperti itu memiliki kesamaan norma dan moralitas bersama sebaliknya masyarakat dengan solidaritas organis dibentuk oleh hukum restitutif. Seseorang yang melanggar mesti melakukan restitusi untuk kejahatan mereka. Pelanggaran yang terjadi dilihat sebagai serangan terhadap individu atau segmen lain bukan terhadap system moral. Dalam bukunya yang kedua Suicide dikemukakan dengan jelas hubungan antara pengaruh integrase sosial dan kecenderungan orang melakukan bunuh diri. Durkheim ingin mengetahui pola atau dorongan sosial dibalik tindakan bunuh diri yang terlihat sepintas merupakan tindakan yang sangat individual. Ada empat jenis bunuh diri menurut Durkheim yaitu Altruistis Egoistis Anomik dan Fatalistis.
8. Pemikiran hukum Max Weber dan H.L.A Hart
Pemikiran hukum Max Weber dan H.L.A. Hart menawarkan dua pendekatan berbeda dalam memahami hukum. Weber melihat hukum sebagai bagian dari struktur kekuasaan dan alat legitimasi dalam masyarakat modern, yang dijalankan secara birokratis dan dipengaruhi oleh proses rasionalisasi. Sebaliknya, Hart memfokuskan pada analisis logis dari struktur hukum itu sendiri, membedakan antara aturan primer dan sekunder, serta mengembangkan konsep *rule of recognition* untuk menentukan validitas hukum. Weber menekankan hubungan hukum dengan konteks sosial, sedangkan Hart melihat hukum sebagai sistem aturan yang bisa dipahami terlepas dari moralitas. Kedua pandangan ini memberikan dasar kuat untuk sosiologi hukum (Weber) dan filsafat hukum analitik (Hart).
9. Efektivitas hukumÂ
Efektivitas hukum dalam masyarakat mengacu pada sejauh mana hukum dapat diterapkan secara nyata dan menghasilkan kepatuhan atau ketaatan dari masyarakat. Hukum dianggap efektif jika aturan yang berlaku dapat dilaksanakan dengan baik, memiliki sanksi yang jelas, dan diakui serta dihormati oleh masyarakat. Faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas hukum meliputi kualitas peraturan, konsistensi penegakan, peran lembaga hukum, serta kesadaran hukum dan budaya masyarakat. Ketidakefektifan terjadi jika hukum tidak diterapkan dengan adil atau tidak dipatuhi karena tidak relevan atau tidak sesuai dengan norma sosial.
10. Law and Social ControlÂ
Hukum sebagai sarana alat kontrol sosial erat kaitannya dengan bagaimana suatu hukum itu agar dapat menentukan dan menetapkan perilaku seseorang dalam hal melakukan sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Hukum tidak lain sebagai konsistensi alat dari negara dimana untuk mempertahankan cita-cita nasional negara. Negara pada hakikatnya adalah suatu tatanan politik dalam masyarakat, oleh karena itu, cita-cita hukum dari suatu negara yang ideal adalah kelanjutan cita-cita politiknya. Sebab itulah hukum berlaku sudah barang tentu mengandung cita-cita politik pada orang-orang atau golongan yang berkuasa di negara yang bersangkutan.
Hukum sebagai agen pengendali sosial memberikan arti bahwa hukum merupakan suatu yang mampu mengatur tingkah laku manusia. Tingkah laku ini dapat diartikan sebagai suatu yang menyimpang dari hukum agar menjadi baik. Memandang hukum sebagai agen pengendali sosial, maka hukum dapat dilihat sebagai suatu alat pengendali sosial, meskipun alat lain juga masih diakui misalnya pranata sosial lainya. Pengendali atau kontrol sosial disini sebagai aspek normatif kehidupan sosial.
11. Sosio Legal Studies
Sosio-legal adalah istilah yang mencakup berbagai pendakatan terhadap hukum, proses hukum, dan sistem hukum. Istilah kajian sosio-legal secara bertahap telah menjadi istilah umum yang mencakup berbagai displin ilmu yang menggunakan perspektif sosial untuk mempelajari hukum.Â
Studi sosio-hukum sangat penting dalam memahami interaksi antara hukum dan masyarakat. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pengendalian sosial, tetapi juga sebagai sarana untuk perubahan sosial. Partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hukum mencerminkan kebutuhan dan keadilan bagi semua. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat memicu ketidakadilan, sehingga penting bagi pembentuk hukum untuk mendengarkan suara masyarakat agar tercipta hukum yang lebih efektif dan responsive.
12. Progressive Law
Progresif berasal dari bahasa asing (Inggris) yang asal katanya progress yang artinya maju. Progressive adalah kata sifat, jadi sesuatu yang bersifat maju. Progressive Law atau hukum progresif berarti hukum yang bersifat maju. Pengertian hukum progressive, Adapun pengertian hukum progresif itu sendiri adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan. Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan
13. Legal Pluralisme
Pluralisme hukum adalah kondisi di mana lebih dari satu sistem hukum berlaku dalam suatu masyarakat, seperti hukum negara, hukum adat, hukum agama, dan norma sosial lainnya. Konsep ini menunjukkan bahwa hukum yang ada dalam masyarakat dapat hidup berdampingan dan saling berinteraksi, bukan hanya sekadar coexistence (pluralitas hukum) tetapi juga bernegosiasi dalam mengatur hubungan sosial (legal pluralism)
14. Pendekatan sosiologis dalam studi hukum IslamÂ
Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk memahami dimensi historis dan antropologis dari hukum Islam, serta menggali makna yang lebih dalam dari ajaran agama dan penerapannya dalam konteks sosial. Pluralisme hukum di Indonesia mencerminkan keberadaan berbagai sistem hukum yang beroperasi secara bersamaan, termasuk hukum negara, hukum adat, dan hukum Islam. Meskipun hal ini menciptakan tantangan seperti ketidakpastian hukum dan potensi konflik antara norma-norma yang berbeda, pluralisme hukum juga memberikan peluang untuk dialog dan adaptasi dalam praktik keadilan, yang dapat memperkaya pengalaman hukum masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H