Mohon tunggu...
Syahrul Arfani
Syahrul Arfani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Bismillahirrahmanirrahim

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dinamika Politik Hukum Islam dalam Pembentukan UU Perkawinan

22 Oktober 2022   10:48 Diperbarui: 22 Oktober 2022   10:52 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak langsung ada begitu saja, namun sebelum adanya Undang-Undang tentang perkawinan rakyat asli Indonesia yang beragama Islam berpedoman pada hukum agama yang telah di padukan dengan hukum adat (akulturasi). Sedangkan masyarakat asli Indonesia yang beragama selain Islam berpedoman pada hukum adat saja.

Sebelum adanya peraturan Undang-Undang yang mengatur tentang perkawinan, terdapat isu isu yang terjadi dimasyarakat, sepertihalnya: praktek poligami yang semena-mena, adanya perkawinan anak dibawah umur, penggunaan hukum yang masih berbeda-beda, dan perkawinan secara paksa. Hal tersebut yang terjadi di masyarakat Indonesia dan menjadi alasan dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam sejarah dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tidak luput dari perjuangan organisasi perempuan yang bergerak pada saat itu. Organisasi tersebut diantaranya, GERWANI dan PERWANI. 

Berkat perjuangan dari organisasi perempuan serta bantuan dari elemen masyarakat, akhirnya pada tanggal 31 Juli 1974 pemerintah mengajukan RUU perkawinan ke DPR. Tujuan diadakannya peraturan undang-undang tentang perkawinan tidak lain dan tidak bukan untuk menyatukan hukum perkawinan, meningkatkan status dan respon wanita yang sadar akan pembaharuan hukum yang mengikuti perkembangan zaman. Dengan demikian aturan tentang perkawinan diharapkan praktik perkawinan dibawah umur,poligami, serta hal-hal yang merendahkan derajat perempuan dalam perkawinan bisa teratasi. 

Salah satu contohnya dengan adanya pasal yang mengatur tentang batas usia menikah maka masyarakat tidak dengan mudah untuk menikahkan anak-anaknya yang masih dibawah umur, karena dalam undang-undang perkawinan sudah jelas bahwasanya batas usia minimal menikah ialah 19 tahun, jika tidak mematuhi maka harus mendapatkan izin dari lembaga pengadilan dan itu pun ada syaratnya, dengan demikian diharapkan akan mengurangi fenomena pernikahan dini terutama yang sering terjadi pada perempuan.

Faktor politik hukum pemerintah yang masih menganggap hukum Islam sebagai hukum yang subkoordinat dibanding dengan hukum barat dan hukum adat mengakibatkan timbulnya beberapa konflik baik dalam UU Perkawinan maupun UU Peradilan Agama. Keberadaan hukum Islam di Indonesia masih dianggap sebagai instrumen belaka dalam pembentukan hukum nasional, bukan hukum murni yang tumbuh dan menjadi pedoman bagi masyarakat muslim di Indonesia. 

Sikap pemerintah yang demikian merupakan warisan dari sikap kolonial Belanda dalam memperlakukan hukum Islam yang hanya bisa diterima jika sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat (adat). Hal ini dapat di lihat dengan adanya pertentangan dua belah kubu dalam memperlakukan hukum Islam, yaitu kubu Nasionalis-Sekuler yang lebih memilih unifikasi hukum, dan kubu Nasionalis Islam yang mengkehendaki adanya kebijakan pluralitas hukum. 

Kubu Nasionalis-Sekuler dalam sejarahnya selalu menduduki kursi pemerintahan, baik ledislatif maupun eksekutif sehingga corak hukum yang berlaku, termasuk hukum islam, mengikuti ide-ide unifikasi secara nasional, sebagaimana yang terlihat pada UU Perkawinan dan UU PA. Hal demikian terlihat juka pada kekosongan material untuk perkara-perkara yang menjadi kewenangan absolut pengadilan agama selain perkawinan. Pemerintah hanya menetapkan KHI untuk menutupi masalah ini, KHI tidak termasuk undang-undang dan tidak termasuk dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia, karena KHI hanya ditetapkan melalui intruksi presiden.

Dibentuknya hukum positif melalui UU Perkawinan, UU PA dam sebagainya dianggap sudah memenui rasa keadilan bagi masyarakat muslim Indonesia. Padahal, ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut masih menimbulkan kesukaran bagi pihak yang menginginkan keadilan karena masih terhalang dengan tembok prosedural hukum. Masalah peradilan agama memang selalu berasa kepentingan, sehingga terlihat lebih kental politiknya ketimbang yuridisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun