Dimasa sekarang, energi listrik seolah sudah menjadi kebutuhan primer manusia modern di hampir semua lini kehidupan. Gadget dan laptop yang anda gunakan untuk membaca tulisan ini saja membutuhkan energi listrik untuk tetap menyala dan berfungsi dengan baik. Sejak zaman Michael Faraday pada tahun 1831 yang menciptakan mesin putar pertama yang mampu menghasilkan listrik hingga era Elon Musk saat ini dengan Tesla Electric Car nya, energi listrik telah menjadi salah satu mesin utama perubahan dan revolusi peradaban manusia. China dan Amerika adalah contoh nyata dimana kemapanan teknologi danpengetahuan energi listrik berperan sangat signifikan dalam kemajuan perekonomian dan industri.
Sedemikian strategisnya program 35 ribu MW ini, hingga Pemerintah menerbitkan Peraturan pendukung antara lain Perpres 30/2015 (tentang perubahan atas Perpres 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum), Permen ESDM (tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik), serta Kepmen ESDM 74K/21/MEM/2015 (tentang Pengesahan RUPTL 2015-2024) demi tercapainya target 35 ribu MW dalam kurun 5 tahun.
Nah, Jika di level atas program ini begitu nyaring gaungnya, bagaimana program 35 ribu MW ini di mata pegawai PLN di lapis terbawah ? seberapa besar impact bagi pekerja PLN di lapangan ? apa perubahan yang dirasakan dengan adanya program ini ?
Bagi saya pribadi, yang berada di lapis terbawah dalam hirarki korporasi PLN, persoalan realistis atau tidak dari target program 35 ribu MW hanyalah tentang kecebong dan kecoa. Banyak muatan politis dibalik hal tersebut. Walaupun memang tidak dipungkiri cukup banyak juga masalah teknis disana.
Sejujurnya, jika berbicara efek, saya merasakan ada beberapa perubahan yang saya rasakan terjadi setelah digulirkannya program ini,
Peningkatan Target dan Resiko Hukum
Yang pertama dan yang paling terasa bagi kami adalah perubahan target kinerja. Semakin tinggi dan ketat. Dari yang dulu evaluasi kinerja dilakukan tiap 6 bulan, kini evaluasi dilakukan tiap bulan. Dan secara teoritis dimanapun di dunia ini, peningkatan target kinerja akan berbanding lurus dengan tingkat tekanan yang ada. Spare waktu luang yang berkurang dan makin banyak porsi pikiran tercurah untuk pekerjaan. Target yang makin tinggi dengan deadline waktu yang tipis mengharuskan kami untuk menggunakan kreativitas dan berimprovisasi dalam bekerja. Masalahnya, PLN adalah perusahaan yang sepenuhnya milik negara. Ada uang negara yang digunakan PLN dalam bentuk subsidi listrik. Ruang untuk berimprovisasi menjadi tidak seluas perusahaan swasta. Ada batasan terkait keuangan negara. Salah satunya adalah UU no 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Karena itu, jika tidak hati-hati dalam berimprovisasi dan berkreasi dalam mengejar target kinerja, salah-salah dapat dianggap merugikan negara yang berakibat masuk penjara. Maka agar tetap bisa bekerja nyata demi terangnya negeri, kunci kami adalah nurani, bekerja lurus tanpa niat untuk memperkaya diri apalagi dengan merugikan negeri.
Satu Visi Satu Persepsi
Yang kedua adalah makin seringnya pejabat PLN baik tingkat Direksi hingga General Manager meninjau proyek kami di lapangan. Kemungkinan besar ini adalah imbas dari ketatnya target penyelesaian proyek terkait program 35 ribu MW. Dulu, biasanya kunjungan hanya dilakukan jika ada seremonial peresmian. Sementara saat ini, para pejabat tersebut “dipaksa” untuk bisa ikut turun langsung mengawal jalannya proyek pembangunan. Bagi kami, ini merupakan indikasi yang sangat positif bahwa jajaran atas PLN memberikan dukungan dan support penuh kepada para pekerja di lapangan. Ini juga sebagai bentuk penguatan bahwa PLN secara korporasi sudah satu visi dan satu persepsi. Target 35 ribu MW yang menantang ini hanya dapat tercapai bila Jajaran atas hingga lapisan terbawah PLN bekerja bersama sebagai sebuah kesatuan.