[caption id="" align="alignnone" width="620" caption="Sumber gambar : http://statik.tempo.co/data/2012/07/11/id_130420/130420_620.jpg / google.co.id"][/caption] Waktu demi waktu teru berjalan, seiring berjalannya waktu pemimpin telah berganti, namun tetap saja permasalahan di Indonesia seperti halnya siklus yang berputar dengan porosnya dan akan tetap terus berputar apabila seorang pemimpin tidak mampu menyadari betapa parahnya kondisi bangsa ini. Pemilu yang akan datang sebentar lagi (2014) akan menjadi tanda tanya besar bagi sebagian orang. Singkat cerirta, beberapa hari yang lalu saya mampir ke bengkel sepeda motor untuk memperbaiki rem. Di sekitar bengkel tersebut terpampang banyak dan besar spanduk-spanduk yang berisikan nama seorang caleg legislatif daerah. Sontak karena saya sudah kenal dengan sang montir, dia bertanya kepada saya : "Kamu kuliah jurusan apa ?" lantas saya menjawab "Ilmu Politik". Dan ketika itu juga saya terkaget-kaget karena setalah pertanyaan itu dia seperti sedang emosi setelah mendengar kata "politik". Entah apa yang dipikirannya saat itu saya tidak tahu, dan saya mencoba menggali mengapa ia begitu emosi dengan kata "politik". Ternyata setelah itu ia berkata "Semua orang yang masuk dunia politik hampir mustahil untuk menjadi bersih walaupun dia tahu bahwa perbuatannya itu adalah korupsi" , saya pun sejenak diam. Kemudian saya berkata pada nya "Tidak bisa ente menjudge sesorang seperti itu bang, bisa saja orang yang kita judge itu lebih baik daripada kita, dan belum tentu orang yg kita judge itu benar-benar korupsi". Ia langsung membantah "Coba sekarang kamu (bahasa udah mulai gak santai) pikir, contoh dasarnya aja, itu orang yang masang-masang baliho (spanduk) caleg itu kamu kira dibayar berapa ? Dan coba telaah, dapat darimana mereka (caleg) uang sebanyak itu untuk maju sebagai caleg ?". Saya pun menjawab "Bisa saja dia (caleg) seorang pengusaha". Ia menjawab "Oke kalau dia bisa maju sebagai caleg, toh pasti biaya untuk membalikkan modal didapat dari berbagai macam cara termasuk korupsi itu". Akhirnya saya berfikir males untuk menghadapi emosi si montir ini, saya bertanya hal lain kepada dia, "2014, kira-kira yang ente pilih siapa ?" . Dan dia pun menjawab "Saya gaakan milih siapapun kalo memang tidak dikasih uang, untuk apa memilih tapi saya tidak kenal calonnya, siapa orangnya, darimana asalnya, jujur atau tidak, bersih atau tidak yakan ?" . Setelah itu saya diam dan kemudian pulag sambil memikirkan maksud dari pernyataan sang montir. Ternyata, begitulah kondisi masyarakat kita yang belum paham dengan arti memilih di pemilu. Artinya adalah KPU sebagai lembaga yang melaksanakan pemilu sudah dianggap nayirs tidak menjalankan fungsi sosialisasi dengan baik kepada masyarakat kelas yang seperti itu. Jujur saja, ketika pemilu 2006 lalu masih terlihat diwilayah-wilayah sekitar saya petugas KPU yang datang memberikan pengarahan dengan cara masuk ke gang-gang perkampungan padat penduduk. Namun sekarang saya telah jarang melihat pemandangan seperti itu, maka wajarlah apabila masyarakat yang tidak mengerti politik lebih memilih golput daripada harus memilih. Karena bagi mereka, memilih hanya merupakan simbol/semboyan semata hanya karena ingin memberikan hak memilihnya kepada negara. Nah untuk itu ini merupakan PR buat kita bersama, harus dengan cara apakah supaya masyarakat yang kurang mengerti tentang politik dapat dengan sadar dan hati nuraninya untuk memilih tokoh-tokoh yang dicalonkan dari partai politik. Tentu itu semua tidak mudah, ditengah maraknya anggota partai politik yang terjerat kasus korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H