Globalisasi menuntut seluruh masyarakat dunia untuk kompetitif dalam persaingan global atau sering disebut juga era modernisasi. Era modernisasi hanya ramah bagi orang-orang yang punya kekuasaan dan uang. Semua bisa diatur dengan kekuasaan dan uang. Yang salah bisa menjadi benar, sebaliknya yang benar bisa menjadi salah. Dunia modern kejam pada orang-orang “kecil”, mereka dipermainkan oleh ombak kehidupan. Terapung-apung ditengah lautan kehidupan tanpa tahu arah. Kemana angin berhembus, kesanalah mereka digiring, tampa tahu apakah mereka akan digiring ke pulau impian ataukah ke samudera lepas yang penuh dengan bahaya yang selalu mengancam dari arah manapun.
Semua aspek kehidupan saat ini penuh dengan kompetisi termasuk aspek ekonomi. Setiap orang berlomba untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Berpenghasilan tinggi, bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pendidikan yang layak bagi keluarga, tabungan untuk hari tua dan tunjangan kematian. Bukan hanya itu, perkembangan ekonomi juga menjadi fokus utama pemerintah, sehingga kesejahteraan masyarakat suatu negara selalu diukur dengan pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat, artinya semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara maka diasumsikan semakin tinggi tingkat kesejahteraan penduduk negara tersebut.
Indonesia termasuk salah satu negara yang tidak luput dari kompetisi tersebut. Pergolakan ekonomi dunia yang fluktuatif membuat perekonomian Indonesia naik turun. Mulai dari pemerintah sampai rakyat kecil dibuat pusing indeks tukar rupiah yang naik turun, bahkan sering turun dibanding kenaikannya. Tidak jarang masyarakat kelas menengah kebawah sering menangisi kehidupan mereka. Pengeluaran selalu besar dibandingkan pendapatan mereka. Tidak jarang diantara mereka hanya makan sekali sehari, bahkan ada yang makan dua hari sekali. Ini bukan cuma opini dan bualan belaka, sering kita melihat berita di media massa tentang anak-anak keluarga miskin yang gerogoti oleh busung lapar. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab atas semua ini. Mengapa negara yang kaya ini hidup miskin di tengah-tengah surga sumber daya alamnya yang melimpah. Silahkan dijawab sendiri-sendiri dan jangan salahkan siapa-siapa.
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah tidak ada artinya kalau Sumber Daya Manusia (SDM) tidak memadai, ibarat ayam yang kelapan di dalam lumbung padi.
Indonesia bukannya tidak memiliki SDM yang cukup, bahkan jumlah penduduk Indonesia saat ini berkisar sebanyak 24 juta orang sebagaimana yang dilansir sebuah media online www.detik.com bulan Juli 2013 ini. Namun, dari 24 juta orang penduduk Indonesia hanya 0,24 % yang berwirausaha. Artinya, dibandingkan jumah penduduk Indonesia tentu sangat kurang sekali, Indonesia masih membutuhkan sekitar 4,18 juta wirausaha lagi, sehingga jika target ideal jumlah wirausaha sebanyak 4,75 juta bisa tercapai maka ekonomi Nasional bisa dikuasai pribumi dan lapangan pekerjaan akan semakin luas, sehingga kesejahteraan masyarakat akan trus meningkat.
Mencetak wirausaha tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu sebuah sistem yang baik, dijalankan secara konsisten, di kontrol, dan ditanamkan sejak dini pada setiap insan Indonesia. Kurikulum yang diterapkan harus terintegrasi karakter kewirausahaan. Sehingga anak-anak sudah dikenalkan pada kewirausahaan sejak dini (satuan pendidikan tingkat TK/SD). Sebetulnya hal ini sudah dicanangkan pemerintah dengan semangat membangun semangat kewirausahaan dan memperbanyak wirausaha melalui Instruksi Presiden Nomor 24 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakat dan Membudayakan Kewirausahaan. Program ini mengamanatkan kepada seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia untuk membangun dan mengembangkan program-program kewirausahaan. Sehingga mendukung Program Ekonomi Kreatif (PEK) Tahun 2010-2014, yakni pengembangan kegiatan ekonomi berdasarkan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan produk-produk yang memiliki nilai ekonomis dan daya saing serta berguna dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Setiap satuan pendidikan bisa saja mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan di sekolah masing-masing. Hal ini dibolehkan, bahkan sangat dianjurkan oleh pemerintah. Setiap sekolah bebas berkreativitas membuat sebuah sistem yang mendukung pendidikan kewirausahaan.
Pendidikan kewirausahaan bisa terintegrasi dalam semua mata pelajaran, muatan lokal, kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan diri, kultur sekolah atau aturan-aturan yang buat oleh sekolah. Bahkan kewirausahaan bisa dijadikan sebuah event kompetisi bagi peserta didik, misalkan ; lomba karya seni, lomba memasak dan mengemas produk sehingga memiliki nilai jual, lomba kerajinan tangan, dan sebagainya. Kemudian hasil karya siswa tersebut dipasarkan dan di jual. Selanjutnya masing-masing individu atau kelompok peserta lomba diberi nilai sesuai indikator penilaian yang telah ditentukan dan diberi penghargaan. Sehingga tidak harus menunggu terlebih dahulu rancangan matang dari pemerintahan pusat.
Di beberapa lembaga pendidikan sudah mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan dalam pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, terutama pada satuan pendidikan Sekolah Menengah (SM) seperti, SMP, SMA, MA, dan SMK. Karena siswa satuan pendidikan tingkat SM lebih mudah untuk diarahkan dan secara kognisi sudah memiliki daya pikir kritis dan kreatif, berbeda sekali dibandingkan siswa tingkat satuan TK dan SD yang masih memiliki sikap dependensi sangat tinggi pada orang yang lebih tua atau guru. Namun, bukan berarti para pendidik tidak bisa menanamkan jiwa kewirausahaan pada peserta didiknya. Tentu sangat bisa sekali, walaupun dengan metode dan sistem yang berbeda dengan satuan pendidikan tingkan SM.
Penanaman jiwa wirausaha pada setiap satuan pendidikan tidak harus sama, bisa dengan metode yang berbeda-beda sesuai karakter peserta didik masing-masing satuan pendidikan. Pada tingkatan SMA kewirausahaan bisa diintegrasikan dalam seluruh kurikulum, ekstra kurikuler, pengembangan diri, muatan lokal, dan sebagainya. Kemudian diwujudkan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dengan penyusunan silabus dan RPP yang terintegrasi pendidikan kewirausahaan. Dalam mata pelajaran yang memuat praktikum bisa diorientasikan kewirausahaan. Kegiatan ekstra kurikuler dan pengembangan diri memiliki peluang yang cukup besar dalam penanaman kewirausahan, sebab sekolah sepenuhnya bisa menentukan jenis kegiatan ekstra kurikuler dan pengembangan diri untuk siswanya dan memiliki jam tersendiri yang lebih efektif dibandingkan penyisipan kewirausahaan dalam mata pelajaran pokok kedinasan maupun muatan lokal.
Salah satu contoh aplikasi pendidikan terintegrasi kwirausahaan adalah kegiatan “Market Day” dengan melibatkan semua siswa dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Kegiatan produksi adalah dengan memberikan tanggung jawab kepada siswa berdasakan kelas secara bergantian untuk membuat produk yang memiliki nilai jual dan bermanfaat bagi selurus civitas academica sekolah. Kemudian siswa diminta untuk menjual produknya (distribusi), sedangkan siswa yang lainnya termasuk para guru bertanggung jawab sebagai konsumen (pembeli). Kegiatan Market Day bisa dilakukan secara mandiri (memproduksi barang secara individu) atau secara klasikal (memproduksi barang dengan berkelompok) sesuai minat siswa dan produk yang akan diproduksikan.
Kegiatan Market Day seperti tertera di atas tentu menimbulkan sebuah pertanyaan, bagaimana dengan siswa pada satuan pendidikan TK dan SD? Apakah para siswa mampu melakukan kegiatan se-kompleks itu?
Untuk satuan pendidikan TK dan SD kegiatan di atas tidak sepenuhnya dibebankan kepada siswa. Peran orang tua dan guru perlu dan harus disertakan. Para siswa dalam Market Day hanya sebatas distributor. Sedangkan kegiatan produksinya bisa melibatkan orang tua maupun guru. Satu lagi yang perlu ditambahkan adalah fungsi kontrol ketika kegiatan distribusi berlangsung, disini dibutuhkan peran guru karena Market Day biasanya dilaksanakan di area sekolah. Fungsi kontrol bertujuan untuk mengajarkan kepada siswa berjual beli yang benar, mengajarkan siswa yang belum bisa bertransaksi dalam bentuk uang dan barang. Sedangkan yang menjadi konsumennya adalah semua siswa dan guru.
Kegiatan Market Day bukan hanya mengajarkan tata cara bertransaksi bagi siswa. Tetapi banyak nilai moril yang bisa ditanamkan kepada para siswa, seperti kemandirian, kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab, komunikasi interpersonal, membantu siswa dalam memahami pelajaran yang berkaitan dengan kegiatan Market Day, serta menanamkan nilai-nilai syari’at Islam yang benar dalam berjual beli kepada siswa yang berhubungan erat dengan Pendidikan Agama Islam (PAI). Wallahu A’alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H