Mohon tunggu...
Syahril Siddik
Syahril Siddik Mohon Tunggu... -

Pencari ilmu dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Kecil dan Kekuatan Do'a Ibu

20 Agustus 2016   21:21 Diperbarui: 21 Agustus 2016   00:17 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup adalah rangkaian mimpi - mimpi yang diucapkan dalam hati dan diperjuangkan. Mimpi –mimpi yang terwujud akan membentuk rasi bintang indah menandai kesuksesan dalam kehidupan. Itulah makna hidup bagiku. Dibesarkan di lingkungan seorang petani di desa terpencil di provinsi Sumatera Utara, aku berjuang agar aku bisa menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.Itu doa yang senantiasa dipanjatkan oleh ibuku untuk anak-anaknya.

Kondisi lingkungan di desa sama sekali berbeda dengan di kota. Di desa bisa menyekolahkan anak sampai ke jenjang perguruan tinggi saat itu merupakan angan-angan semata. Apalagi latar belakang penuduk di desa kami adalah transmigran dari pulau Jawa yang mencoba peruntungan hidup dengan membuka hutan liar di pulau Sumatera. Mencari mata pencaharian adalah tujuan utama, bukan bersekolah.

Aku bersyukur memiliki orang tua seperti mereka. Meski Ayah dan Ibuku tidak mampu menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar karena kendala biaya, mereka punya mimpi agar anak-anaknya kelak mampu merasakan bangku kuliah. Jangankan untuk ikut ujian akhir, ke sekolah saja mereka tanpa alas kaki. Kisah ibuku lebih tragis. Beliau menyerah saat akan mengikuti ujian akhir. Sedangkan Ayah sudah tidak melanjutkan sekolah sejak di kelas 4. Begitulah Ibu bercerita tentang untuk memotivasi diriku agar aku bisa bersekolah lebih dari jenjang yang pernah mereka tempuh.

Meski aku dilahirkan di lingkungan petani, Ayah dan Ibu selalu melarangku untuk membantu mereka di ladang seperti anak-anak lain seusiaku. Mereka hanya berpesan agar aku harus belajar dengan sungguh-sungguh. Tak perlu ikut bertani dan memikirkan biaya sekolah. Entah kenapa mereka begitu yakin bahwa anak-anaknya akan berhasil dalam memperoleh pendidikan yang lebih baik dari mereka.

Aku masih ingat saat kami tinggal di rumah sangat sederhana di kampung blok XI, ayah bangun pukul 2 dini hari untuk mengambil bibit padi di belakang rumah yang akan ditanam di sawah. Jangan dibayangkan kampung kami padat seperti kampung-kampung di pulau Jawa. Jarak antara rumah yang satu dengan lainnya bervariasi. Rumah berjejer dengan jarak ke kanan dan ke kiri 10-12 meter. Sedangkan ke belakang rumah lebih lebar lagi. Biasanya di belakang rumah ada pohon kelapa, pohon karet dan ilalang. Ayah cukup bernyali untuk mengambil bibit dini hari demi menghidupi kami. Ibu juga cukup bernyali ditinggal berdua di rumah bersamaku yang masih berumur sekitar 5 tahun.

Biasanya sebelum adzan subuh berkumandang, ibu sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Selepas shubuh kami sarapan dan bersiap pergi ke sawah. Sebelum matahari terbit kami sudah berangkat mengayuh sepeda menembus embun pagi yang dingin dengan pandangan yang masih remang-remang. Aku duduk di depan dibonceng Ibu. Sedangkan Ayah mengikuti kami dari belakang.

Sawah tempat ayah dan ibu menanam padi saat itu bukanlah sawah kami, melainkan sawah orang lain. Ayah dan Ibu hanya pekerja di sawah tersebut. Mereka bekerja dari sawah yang satu ke sawah yang lain, termasuk bekerja di sawah milik saudara. Penghasilannya pun tidak seberapa. Hanya cukup untuk kami bertiga. Meskipun demikian, ibu selalu berusaha untuk bisa menyisihkan sebagian uang yang mereka dapatkan dengan cara memasak sayur-sayuran dari ladang seadanya seperti daun singkong atau genjer yang tumbuh di sawah. Saat Ayah dan Ibu bekerja di sawah aku biasanya duduk di gubuk kecil melihat mereka dari kejauhan. Jika lelah, aku akan berbaring. Sesekali aku bermain jika ada teman di sawah.

Kata ibu waktu kecil aku sering jatuh sakit. Sembuh dari penyakit yang satu, datang lagi penyakit yang lain. Kadang Ayah dan Ibu sampai berdebat menentukan kemana harus berobat, dari dokter sampai ke “orang pintar” di desa sudah mereka datangi. Aku juga selektif dalam memilih menu makanan. Maunya yang enak-enak seperti daging ayam dan ikan. Kalau tidak ada menu yang disukai, aku tidak mau makan. Kadang aku makan sambil menangis karena terpaksa memakan sayuran dari ladang yang tidak aku suka, meskipun bergizi.

‘Maafkan aku Ayah, maafkan aku Ibu. Sudah sering aku menyusahkan kalian’.

Di saat marah itulah ibu sering memberiku mimpi-mimpi yang aku ingat sampai sekarang.

“kalau kau tak mau makan daun singkong, jadilah orang pandai bersekolah biar kau bisa makan apa saja yang kau mau. Yang enak-enak” kata ibu sambil membenahi kayu bakar di tungku api dapur kami.

Aku yang duduk di atas bangku kecil hanya bisa mendengarkan sambil sesenggukan dan memasukkan nasi dan sayur daun singkong santan dengan rasa sesak. Itulah seorang Ibu kalau sedang marah seharusnya berkata yang baik karena kata-kata ibu itu adalah doa. Kata-kata ibu masih aku ingat dengan baik sampai sekarang.

Ayahku hanya diam duduk di tengah pintu dapur sambil menghisap rokok dan memandangi hutan di belakang rumah kami. Ayah memang lebih banyak diam kepada anaknya. Jarang sekali marah. Berkata hanya jika ada perlu saja. Tapi kasih sayangnya untukku sama seperti kasih sayang ibu kepadaku. Misalnya kalau minta uang jajan ke Ibu biasanya ditanya ini dan itu, tapi kalau ayah tidak usah minta, beliau selalu memberiku uang jajan kalau habis gajian untuk jajan 1 minggu.

Mimpi itu bermula dari sebuah kompetisi lomba adzan. Seorang dosen muda dari Bandung datang ke desa kami. Dia adalah sahabat Ayah waktu di sekolah dasar dulu. Anak seorang tokoh di desa kami yang pernah mendirikan pondok pesantren. Sayang pondok pesantren itu harus lenyap karena kekacauan politik saat itu. Dia datang bersama istri dan anaknya. Dengan bekal pengalaman di pulau Jawa, dia mengadakan perlombaan untuk menyambut hari lahirnya Nabi Muhammad saw. atau yang sering disebut maulid nabi. Perlombaannya bermacam-macam. Dari lomba membaca al Quran sampai lomba adzan. Diikuti oleh seluruh majelis taklim yang ada di desa dari kampung blok 1 sampai blok 20.

Aku diminta oleh guru mengaji di majelis taklim kami untuk mengikuti lomba adzan.

“kalau mau ikut lomba, ibu dan ayah dukung. Ibu do’akan kau menang. Tapi kalau kalah, kau harus siap” kata Ibu sambil tersenyum saat aku menceritakan bahwa aku akan ikut lomba Adzan.

Kata-kata yang memberikan aku pelajaran dalam hidup bahwa kita harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan yang paling buruk yang akan kita hadapi. Ya, pelajaran itu selalu aku pegang dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Meski tidak jadi juara pertama, tapi aku menang menjadi juara ketiga. Aku sangat senang. Ayah juga terlihat sangat senang membawaku pulang ke rumah sambil mengayuh sepeda. Ibu menyambutku dengan suka cita. Tampak di wajahnya rasa khawatir dan cemas jika aku kalah, hilang seketika dengan senyumnya sambil meneteskan air mata.

“selamat ya nak” ucap Ibu sambil mencium dan memelukku.

Lalu kami buka isi kardus hadiah juara 3 itu bersama-sama dan ternyata isinya buku tulis 1 lusin.

“aku ingin sekolah” kataku spontan.

Ayah dan Ibu saling berpandangan. Suasana hening sejenak. “sekolah Arab (baca: diniyah atau sekolah agama) dulu saja” kata Ayah. Ibu mengangguk tanda setuju. Saat itu umurku 7 tahun, umur di mana kebanyakan anak akan masuk ke sekolah dasar, bukan sekolah Arab. Mungkin mereka berfikir sekolah Arab bagus untuk persiapan sebelum masuk ke sekolah dasar atau mungkin karena saat itu mereka belum punya biaya untuk mendaftarkanku ke sekolah dasar.  Apapun itu tidak masalah. Saat itu aku gembira karena aku akan sekolah.

Di desa kami tidak ada sekolah taman kanak-kanak. Waktu itu hanya ada sekolah dasar dan sekolah Arab. Di sekolah Arab kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dari siang sampai sore hari. Banyak anak-anak yang masuk sekolah Arab meski pun mereka sudah masuk sekolah dasar. Kurikulum sekolah Arab semuanya bermuatan pendidikan Agama Islam. Setahun berselang akhirnya aku masuk sekolah dasar.

Bagiku juara lomba adzan tingkat desa itu merupakan bintangku yang pertama. Sebuah mimpi singkat dari seorang anak petani yang terwujud dan melambungkan keinginannya untuk menggapai bintang-bintang yang lain. Sebuah cita-cita bersama untuk merubah keadaan dan menjadi keluarga yang terdidik.

Selamat menggapai bintang-bintangmu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun