"Kita dikelilingi omong kosong moralitas", kata Pak Arif agak ekstrem.
Seorang guru yang seharusnya "digugu" dan "ditiru" tidak pernah memahami betapa uniknya kehidupan dan memberi teladan dalam kehidupan. Contoh kecil, anak-anak mustahil mau meminta maaf, berterimakasih, peduli dan membantu teman yang kesulitan jika ia disekolah dikelilingi dengan sistem yang egois dan otoriter. Anak-anak dilarang merokok, tetapi guru-gurunya merokok bahkan sampah rokok berceceran di laci meja, anak-anak dilarang terlambat, tetapi guru-gurunya telat masuk kelas.
Perspektif digugu dan ditiru inilah mutlak mengharuskan seorang guru tidak hanya sekedar sebagai orang yang memiliki basis kompetensi ilmu pengetahuan, melainkan juga track record perilaku kehidupannya.Â
Bukankah Pendidikan adalah sebuah pergerakan yang membawa manusia dari kegelapan menuju terang, menuju cahaya. Kalau kita masih saja belum berhasil membawa anak didik menuju cahaya, para pendidik dan orang tua harus bertanya apa yang salah dengan kami, bukan apa yang salah dengan anak. Jika nilai anak-anak (siswa) jelek, bukan berarti sepenuhnya kesalahan ditimpakan ke anak.
Guru harus instropeksi diri, sudah benarkah cara kita mengajar dan menyampaikan materi kepada anak, sudah sesuaikah metode pembelajaran yang diterapkan di kelas. Lantas apakah kita masih mengingat dan menjalankan apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, didepan memberi contoh, ditengah memberi motivasi menggugah semangat, dan dibelakang memberi dorongan. Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangunkarso, Tut Wuri Handayani.
Di sisi lain anak-anak juga harus mengingatkan dirinya, " Kita pintar bukan karena diajar, tetapi karena belajar ", dan kelulusan ujian bukanlah akhir tetapi justru awal dari proses menghadapi ujian kehidupan selanjutnya yang lebih berat. Kita belum lulus paripurna meski nilai raport kita baik kalau nilai kelakuan kita masih buruk.
"Kata kuncinya adalah, tanpa keteladanan kita akan melahirkan generasi edan, karena kalau bicara tentang masalah pendidikan memang semrawut, ruwet, dan bikin mumet, ujung-ujungnya kalut stadium empat ". Cetus Pak Rahmat menutup pembicaraan.
Kedua guru kampung itu tertawa lepas seraya beranjak dari warung makan sekitar alun-alun setelah menikmati nasi goreng kambing kesukaan mereka, maklum awal bulan, sesekali memanjakan diri, katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H